Bank Dunia: Hampir 60% Negara Miskin Sudah dan Terancam Krisis Utang
Bank Dunia memperingatkan, pengetatan pasar keuangan global telah mendorong makin banyak negara berpendapatan rendah atau negara miskin menghadapi risiko krisis utang. Situasinya semakin berat mengingat dampak perlambatan ekonomi global juga akan mempengaruhi prospek perekonomian mereka.
Dalam laporannya Global Economic Prospects (GEP) edisi Januari 2023, Bank Dunia membuat laporan khusus terkait perkembangan ekonomi di negara miskin. Salah satu catatan terkait tekanan fiskal dan kesinambungan utang yang memburuk di banyak negara miskin. Total negara yang tergolong miskin versi Bank Dunia sebanyak 28 negara.
Defisit anggaran pemerintah melebar pada tahun lalu di hampir setengah dari semua negara miskin di tengah meningkatnya biaya utang dan pertumbuhan yang melemah. Tekanan fiskal juga bertambah karena adanya anggaran tambahan untuk melindungi masyarakat miskin lewat pemberian subsidi, pemotongan pajak konsumsi dan bea cukai serta transfer ke kelompok masyarakat rentan.
Beberapa negara mencatatkan rekor utang yang melonjak. Rata-rata utang pemerintah negara miskin, tidak termasuk Chad dan Sudan Selatan, mencapai 60% dari PDB pada tahun lalu, tingkat tertinggi sejak 2007.
"Akibatnya, hampir 60% dari semua kelompok negara miskin sedang mengalami atau berisiko tinggi mengalami tekanan utang pada akhir tahun 2022," dikutip dari laporan Bank Dunia, Kamis (12/1).
Bank Dunia menyebut akan semakin banyak negara miskin menghadapi kesulitan membayar utang jika tekanan ekonomi yang melemah berlanjut serta suku bunga terus naik lebih tinggi dari perkiraan.
Masalah bukan hanya dari sisi fiskal, prospek pertumbuhannya diperkirakan melambat tahun ini. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin tahun ini sebesar 5,1%, turun 0,1 poin persentase dari perkiraan sebelumnya.
Prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 65% dari total negara miskin telah direvisi ke bawah sekalipun perkiraan pertumbuhan di tiga negara besarnya yakni Republik Demokratik Kongo, Ethiopia and Uganda dinaikkan.
"Meskipun pertumbuhan diperkirakan akan menguat tahun ini dan tahun depan karena tekanan harga agak mereda, perlambatan ekonomi global yang diperkirakan lebih tajam dapat menyebabkan penurunan harga komoditas dan pendapatan ekspor lebih lanjut, yang berdampak buruk pada aktivitas di banyak negara pendapatan rendah, terutama eksportir energi dan logam," kata Bank Dunia.
Negara-negara miskin juga masih rentan terhadap kerawanan pangan. Pertumbuhan pendapatan per kapita yang lemah juga memperburuk kerawanan pangan. Ancaman dampak perubahan iklim juga bisa memperburuk sektor pertanian dan mata pencaharian masyarakat di negara miskin. Melonjaknya tagihan impor, kekurangan cadangan devisa, dan kesulitan utang bisa semakin membatasi impor bahan makanan pokok, bahan bakar, dan pupuk.