Surplus Neraca Dagang Desember 2022 Diramal Turun karena Ekspor Lesu
Surplus neraca dagang diramal masih akan berlanjut pada Desember 2022 tetapi lebih kecil dibandingkan bulan-bulan sebelumnya karena kinerja ekspor semakin lesu. Namun, pembukaan kembali aktivitas ekonomi di Cina seiring pelonggaran kebijakan Covid-19 membantu surplus perdagangan bertahan lebih lama tahun ini.
Dikutip dari Investing.com, neraca dagang Desember akan surplus US$ 4,01 miliar, lebih kecil dari bulan sebelumnya US$ 5,16 miliar. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi siang ini pukul 11.00 WIB.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan neraca dagang akan melanjutkan surplus untuk 32 bulan beruntun pada Desember 2022 ,tetapi bakal lebih kecil dari bulan sebelumnya, yakni US$ 3,75 miliar.
Ekspor diperkirakan tumbuh 8,3% dibandingkan Desember 2021. Hal dipengaruhi moderasi harga minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak mentah, sedangkan harga batu bara masih terakselerasi.
"Impor terkontraksi 4,2% secara tahunan, impor agak melambat karena faktor musiman," kaya David, Minggu (15/1).
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga melihat surplus dagang menyusut ke US$ 4,17 miliar. Ia pun memperkirakan, neraca dagang untuk keseluruhan tahun akan surplus US$ 54,8 Miliar, lebih besar dibandingkan surplus tahun sebelumnya US$ 35,34 miliar.
Josua memperkirakan volume ekspor pada akhir tahun cenderung melambat seiring pelemahan kinerja manufaktur di banyak mitra dagang utama Indonesia. Sementara impor akan ditopang oleh komoditas nonmigas di tengah menurunnya impor migas akibat penurunan harga minyak mentah dunia.
"Neraca dagang 2023 diperkirakan tetap surplus US$ 40-45 miliar. Ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu, mempertimbangkan potensi normalisasi harga komoditas global serta penurunan permintaan global di tengah ekspektasi perlambatan ekonomi global," kata Josua dalam catatannya.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga melihat surplus menurun tetapi masih di atas perkiraan dua ekonom sebelumnya, yakni US$ 4,76 miliar. Surplus lebih kecil karena ekspor melambat seiring menurunnya harga komoditas dan pelemahan permintaan. Ekspor diperkirakan turun 0,24% dari bulan sebelumnya tetapi naik 7,62% secara tahunan. Di sisi lain, impor diperkirakan naik 1,8% dari bulan sebelumnya.
"Permintaan domestik membaik sejalan dengan peningkatan PMI Manufaktur, mobilitas masyarakat, dan permintaan musiman di akhir tahun, sementara harga minyak menurun," kata Faisal dalam catatannya.
Ia melihat pertumbuhan ekspor akan melambat tahun ini karena harga komoditas menurun, terutama batu bara dan CPO. Moderasi harga komoditas seiring lesunya permintaan di tengah risiko perlambatan ekonomi dunia.
Namun, ia melihat normalisasi kebijakan Covid-19 di Cina bisa membantu surplus dagang tahun ini bertahan lebih lama sebelum berbalik menjadi defisit. Pembukaan kembali aktivitas ekonomi Cina bisa membantu penurunan harga komoditas lebih bertahap.
Sementara itu, impor diperkirakan tumbuh lebih tinggi daripada ekspor seiring pencabutan kebijakan PPKM dan rencana pemerimtah melanjutkan proyek PSN. Namun, pertumbuhannya tidak akan setinggi tahun lalu karena harga minyak turun serta antisipasi penurunan ekspor mengingat sebagian bahan baku produk ekspor Indonesia dipenuhi dari impor.