Pandemi virus corona memukul kinerja keuangan hampir seluruh lini bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan milik negara. Beberapa BUMN bahkan mencatatkan kerugian hingga triliunan rupiah.

Tengok saja kinerja keuangan PT Pertamina pada semester pertama tahun ini yang baru dirilis Senin lalu (24/8). BUMN energi ini mencatatkan kerugian mencapai US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11 triliun jika mengacu kurs referensi JISDOR akhir Juni Rp 14.302 per dolar AS.

Advertisement

Penyebabnya, pendapatan mereka anjlok 19,8% dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi US$ 20,48 miliar. Penyebab utamanya adalah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang turun seiring pembatasan sosial berskala besar di masa pandemi. Selain itu, fluktuasi harga minyak dunia dan rupiah juga turut berpengaruh.

Nasib serupa menimpa PT Perusahaan Listrik Negara. (PLN). Pada kuartal pertama tahun ini, BUMN setrum tersebut membukukan rugi Rp 38,88 triliun akibat rugi selisih kurs.

Sementara pada semester pertama tahun ini, PLN sudah kembali mencatatkan laba sebesar Rp 273,06 miliar, meski masih anjlok dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 7,35 triliun.

Nasib tak kalah nahas dialami PT Garuda Indonesia Tbk. Pembatasan sosial berskala besar memukul kinerja keuangan maskapai BUMN ini hingga rugi Rp 10 triliun pada semester pertama tahun ini.

Kerugian disebabkan oleh pendapatan yang anjlok 58,18% dibandingkan semester pertama tahun lalu menjadi US$ 917,28 juta, turun 58,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,19 miliar.  Di sisi lain, beban perusahaan tak turun sedalam penurunan pendapatan yakni mencapai 21,99% menjadi US$ 1,64 juta.

BUMN lain yang bergerak di bidang angkutan udara, PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II juga mencatatkan kerugian. AP I rugi Rp 1,16 triliun, sedangkan AP II sebesar Rp 838 miliar.

Kerugian yang dialami Garuda dan Angkasa Pura I dan II terjadi seiring adanya pembatasan perjalanan untuk mencegah penularan Covid-19. Jumlah penumpang  pesawat juga turun drastis  selama masa pandemi.

Pembatasan perjalanan juga membuat PT Kereta Api Indonesia merugi Rp 1,35 triliun dalam enam bulan pertama tahun ini. Apalagi, KAI seperti halnya Garuda Indonesia, kehilangan momentum mendulang untung dari periode angkutan mudik.

Menteri BUMN Erick Thohir sebelumnya sudah memperkirakan penurunan kinerja perusahaan-perusahaan pelat merah pada tahun ini. Ia  menyebut 90% BUMN terkena dampak negatif akibat pandemi Covid-19.

Akibatnya, Erick memperkirakan perusahaan-perusahaan BUMN hanya dapat menyumbangkan dividen kepada negara pada tahun depan dari laba bersih tahun ini sebesar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun.

"Dividen kemungkinan 25% dari target tahun ini, kira-kira kurang lebih Rp 10-15 triliun, padahal target awal proyeksinya di atas Rp 43 triliun," kata Erick awal bulan lalu.

Sementara dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021, pemerintah menargetkan bagian dari laba BUMN atas tahun buku 2020 mencapai Rp 26,13 triliun.

Isi Dompet BUMN Rugi

Rugi triliunan rupiah berpengaruh pada arus kas perusahaan-perusahaan negara tersebut. Per 1 Juli 2020, arus kas Garuda Indonesia bahkan hanya tersisa US$ 14,5 juta atau Rp 207 miliar. Padahal, saldo utang maskapai BUMN ini mencapai US$ 2,2 miliar atau Rp 31 triliun.

Utang tersebut terdiri dari utang operasional Garuda mencapai US$ 905 juta, utang jangka pendek ke perbankan sebesar US$ 668 juta, dan utang jangka panjang sebesar US$ 645 juta.

"Gap pendapatan dan biaya mengharuskan penundaan pembayaran atas operasional dan penjadwalan ulang pinjaman yang jatuh tempo, sehingga membuat tingginya jumlah saldo utang usaha dan pinjaman bank," kata Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra pada pertengahan bulan lalu.

Analis Ciptadana Sekuritas Fahressi Fahalmesta menilai posisi kas dan utang jangka pendek perusahaan Garuda sudah memberikan sinyal alarm betapa dibutuhkannya bantan pemerintah. Apalagi, meski PSBB sudah dilonggarkan, tingkat keterisian penumpang masih cukup rendah untuk menjalankan operasional perusahaan. 

"Tanpa bantuan pemerintah, kinerja Garuda memang berat sekali, mereka bahkan sudah meminta penundaan pembayaran obligasi,"ujarnya kepada Katadata.co.id. 

Penurunan posisi kas juga dialami oleh Angkasa Pura I dari Rp 5,51 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp 1,8 triliun per akhir Juni. Total aset lancar juga turun dari Rp 8,2 triliun menjadi Rp 4,85 triliun. Namun, kewajiban jangka pendek perusahaan yang mencakup utang juga turun dari Rp 6,18 triliun menjadi Rp 4,27 triliun.

Senada, posisi kas dan setara kas Angkasa Pura II juga anjlok dari Rp 3,42 triliun menjadi Rp 1,73 triliun. Sedangkan total aset lancar turun tipis dari Rp 5,96 triliun menjadi Rp 5,2 triliun. Sementara total liabilitas jangka pendek naik dari Rp 5,4 triliun menjadi Rp 7,35 triliun.

KAI juga turut mengalami penurunan posisi kas meski dalam kondisi yang lebih baik. Pada akhir Juni 2020, posisi kas dan setara kas KAI mencapai Rp 2,67 triliun, turun dari akhir tahun lalu sebesar Rp 3,86 triliun.

Total aset lancar juga turun dari Rp 6,9 triliun menjadi Rp 6,13 triliun. Sedangkan kewajiban jangka pendek naik tipis dari Rp 8,11 triliun menjadi Rp 8,3 triliun. 

Sementara PT Pertamina yang menderita kerugian lebih besar masih mencatatkan kenaikan posisi kas dan setara kas menjadi US$ 8,9 miliar atau mencapai Rp 128,7 triliun dari posisi akhir tahun lalu US$ 6,76 miliar. Total aset lancar mencapai US$ 24,51 miliar atau naik dari posisi akhir 2018 US$ 23,08 miliar.

Dari total aset lancar tersebut, pemerintah tercatat masih memiliki utang kepada Pertamina mencapai US$ 3,67 miliar atau Rp 53,48 triliun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement