• Tren kenaikan utang BUMN sudah terjadi sejak 2016.
  • Total utang luar negeri perusahaan negara per Januari 2021 mencapai Rp 809 triliun.
  • Pandemi Covid-19 meningkatkan risiko utang BUMN.

Lonjakan utang BUMN bukan semata terjadi akibat pandemi Covid-19. Tren kenaikan sudah berlangsung dalam lima tahun terakhir. Namun, pandemi meningkatkan risikonya tak hanya bagi neraca keuangan perusahaan, juga fiskal dan perekonomian.

Berdasarkan catatan Kementerian BUMN, total utang perusahaan negara hingga kuartal ketiga 2020 mencapai 1.682 triliun, naik Rp 289 triliun dibandingkan posisi akhir 2019. Sementara berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri BI, pinjaman asing BUMN per Januari 2021 mencapai US$ 57,47 miliar atau setara Rp 809 triliun mengacu kurs JISDOR periode yang sama.

Utang luar negeri BUMN terutama didominasi oleh perusahaan nonkeuangan yang mencapai US$ 45,37 miliar, naik 9,22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan utang luar negeri BUMN keuangan turun dari US$ 11,52 miliar menjadi US$ 12,1 miliar.

Peneliti INDEF Deniey A Purwanto mengatakan, tren kenaikan utang BUMN terjadi sejak 2016. Sejumlah BUMN saat ini bahkan mencatatkan rasio utang di atas batas wajar.

"Beberapa BUMN memang menunjukkan solvabilitas atau debt to asset yang melewati wajar, sudah di atas 60%," ujar Deniey dalam Webinar Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang, Rabu (24/3).

Berdasarkan data yang dipaparkan Deniey, rata-rata rasio utang terhadap aset BUMN naik dari 33,42% pada 2016 menjadi 69,52%. Namun, kenaikan utang tak berbanding dengan kemampuan perusahaan mencetak keuntungan. Rata-rata laba bersih dibandingkan pendapatan BUMN justru turun dari 10,14% pada 2019 menjadi 7,09%.

"Utang seharusnya memiliki dampak yang positif terhadap kinerja. Tapi kita bisa lihat di return on equity ya, tingkat pengembalian terhadap modal, sebagian besar tingkat pengembaliannya sangat kecil bahkan beberapa negatif," katanya.

Kinerja BUMN pada tahun lalu semakin terpukul oleh Pandemi Covid 19. Menurut dia, dampak paling besar terjadi pada BUMN sektor transportasi dan konstruksi.

Pemerintah pada akhirnya mengambil langkah penyelamatan bagi sejumlah BUMN yang paling terdampak. Beberapa BUMN mendapat penempatan dana pemerintah, investasi nonpermanen, penjaminan, hingga penyertaan modal negara.

"Kalau tidak ada upaya menahan laju utang BUMN, maka beban semakin besar dan berisiko ke debt trap," katanya.

Utang BUMN, menurut dia, memiliki risiko fiskal setara dengan dampak bencana. Potensi terjadinya gagal bayar berada pada level menengah, tetapi jika terjadi berdampak besar pada APBN.

Ekonom Indef Didiek Rachbini menjelaskan, utang BUMN dapat digolongkan sebagai utang publik karena dapat berdampak pada anggaran publik. Adapun total utang BUMN dan pemerintah saat ini mencapai lebih dari Rp 8.000 triliun.

"Ini belum selesai pemerintahan Jokowi, nanti kalau sudah selesai pemerintahannya bisa mencapai Rp 10.000 triliun. Utang APBN dengan BUMN. Ini meningkat semakin pesat," kata Didik.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement