Ibarat ibu kandung, hutan memiliki peran yang sangat besar bagi kehidupan Suku Moi, kelompok masyarakat adat yang menghuni Kampung Malaumkarta di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Ini adalah sebuah kampung yang berada di sekitar hutan. Mengingat hutan berada di sekeliling mereka, suku Moi menyebut hutan sebagai Tam Sini. Artinya, ibu kandung yang memberi makan dan minum.
“Hutan sudah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari,” ujar Torianus Kalami, pemuda asli suku Moi dalam sebuah wawancara dengan tim riset Katadata beberapa waktu lalu. Tori – panggilan akrab Torianus - adalah salah seorang pemuda pelopor dari suku Moi.
Sejak 2008, dia sudah merintis gerakan dengan mengorganisasi anak muda kampung sebagai ujung tombak untuk memperjuangkan hak atas tanah, hak atas sumber daya alam dan pengetahuan tradisional.
“Pemuda adalah tulang punggung. Mereka yang akan berpengaruh dan memberi informasi kepada orang tua di rumah dan dengan sendirinya mengorganisir orang di rumah,” ujarnya. Dia menekankan kehidupan masyarakat Moi dan Papua pada umumnya bergantung pada hutan dan laut sehingga pendekatan masyarakat harus berdasarkan itu.
Tori menginisiasi konsep partisipasi untuk memacu pembangunan berkelanjutan di kampung Malaumkarta. Mereka menerapkan konsep-konsep tradisional agar bisa sedekat mungkin dengan masyarakat adat. Dengan tekad dan visi yang kuat untuk menjaga wilayah mereka, semangat yang diperjuangkan Tori menular ke komunitas lain. Mulai dari perangkat kampung, pemuka adat sampai pemimpin agama.
Tidak hanya mempengaruhi komunitas di kampung Malaumkarta. Tori bersama rekan-rekannya bergerak dan melangkah lebih jauh. Mereka membentuk Perkumpulan Generasi Muda (PGM) Malaumkarta untuk mendorong pembuatan dasar hukum konservasi wilayah. Kelompok ini melibatkan jumlah pemuda lebih banyak yang berasal dari lima kampung.
Hasilnya, pada 2017, PGM berhasil menginisiasi lahirnya peraturan bupati (Perbup) No. 07/2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong. Perbub ini mengatur kawasan konservasi tradisional, serta menjadi dasar bagi Gubernur Papua Barat dalam merumuskan Deklarasi Manokwari pada 2018.
Dalam Bahasa Moi disebut egek, yakni sebuah sistem konservasi wilayah hutan dan laut. Sistem ini mengatur larangan pemanfaatan sumber daya alam di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dengan tujuan menjaga keanekaragaman hayati dan kelestarian hutan. Konsep egek ini juga berfungsi sebagai sarana edukasi sistem konservasi tradisional ke generasi muda berikutnya.
“Sejak umur lima tahun, anak-anak sudah bisa memahami bahwa ada satwa yang tidak boleh ditangkap. Ini berawal dari pengorganisasian pemuda tentang konsep ini yang merambat ke kelompok lainnya,” kata Tori.
Teranyar, Maret 2021 lalu, Tori bersama PGM mendeklarasikan egek hutan di tiga wilayah adat terluar di Malaumkarta Raya. Tidak berhenti di program ini, Tori dan PGM juga menginisiasi pemetaan partisipatif untuk mencegah konflik sekaligus untuk memetakan segala macam potensi di sekitar mereka.
Lewat kolaborasi dengan organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan perangkat pemerintah daerah, sekitar 12.600 hektare wilayah berhasil terpetakan. Mencakup informasi biodiversivitas, kepadatan dan kesehatan hutan, serta zona khusus dan zona kelola.
“(Dari pemetaan), kami mendorong ekowisata pada dua kampung. Masyarakat bisa mendapatkan uang setiap harinya dari ekowisata,” tutur Tori. Menurut Tori, konsep egek yang mereka terapkan ini menjadi alternatif bagi masyarakat untuk bisa mendapat manfaat ekonomi dari sumber daya alam di sekitarnya dengan tetap memperhatikan lingkungan.
Melalui program ekowisata tersebut, diperkirakan bisa menghasilkan potensi ekonomi langsung sebesar Rp 1,6 miliar per tahun dan potensi ekonomi tidak langsung sebesar Rp 1 miliar per tahun. Sedangkan dari zona kelola yang telah ditetapkan, pemanfaatan kawasan egek paling sedikit memberi pendapatan mencapai Rp 100 juta per bulan.
Selanjutnya, Tori berencana mengembangkan koperasi sebagai sarana pengelola sumber daya alam, serta mendorong pembentukan asosiasi petani untuk mengembangkan potensi pertanian guna memenuhi kebutuhan lokal. Agar program pembangunan berkelanjutan tidak putus di tengah jalan, mereka juga berencana membangun pusat pelatihan. “Kami akan mempersiapkan sumber daya manusia untuk program jangka panjang.”
Koordinator | Jeany Hartriani |
Editor | Heri Susanto, Padjar Iswara, Jeany Hartriani |
Penulis Artikel & Infografik | Alfons Yoshio Hartanto, Arofatin Maulina Ulfa, Fitria Nurhayati, Hanna Farah Vania, Melati Kristina Andriarsi |
Desain Grafis | Muhamad Yana, Cicilia Sri Bintang Lestari, Dani Nurbiantoro, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma |
Foto | Muhammad Zaenuddin |
Teknologi Informasi | Muhammad Zaki Achsan, Febryan Ramadhan |