Industri teknologi finansial (fintech) yang masuk ke sektor pembiayaan sangat masif saat ini. Tahun lalu saja, pertumbuhan penyaluran pembiayaan dari fintech mencapai 800%. Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, apakah penetrasi fintech ke sektor pembiayaan ini akan menjadi ancaman atau peluang bagi industri perbankan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan industri perbankan harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang sangat cepat saat ini. Sebab, perbankan bisa berhadapan dengan risiko kepunahan, apabila tidak mampu bersaing dengan pemain fintech. “Jangan sampai perbankan mengalami nasib seperti dinosaurus yang sudah punah," ujarnya di acara Indonesian Banking Expo (IBEX) 2018, di Jakarta, Kamis (15/11).

Advertisement

Hasil penelitian Kantor jasa konsultan internasional atau Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia juga menyatakan perkembangan fintech menjadi salah satu risiko bagi industri perbankan nasional. Ini berdasarkan laporan Indonesia Banking Survei 2018 terhadap 65 responden dari 49 bank di Indonesia. Sebanyak 41% responden dari bank besar menyatakan fintech akan menjadi ancaman serius dalam lima tahun ke depan.

(Baca: OJK Prediksi Penyaluran Dana P2P Lending Capai Rp 20 Triliun)

Keberadaan fintech diuntungkan dengan perilaku masyarakat yang semakin gemar melakukan transaksi secara digital. Tren bertransaksi di jalur digital di perbankan naik hingga 35%. Padahal, tiga tahun lalu, 75% bankir memperkirakan lebih dari separuh transaksi dilakukan di kantor cabang. Kini angkanya turun menjadi 34%.

"Lima tahun lalu, menggunakan aplikasi mobile menjadi hal yang baru. Tapi kini itu sudah jadi hal biasa. Fintech memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, jika perbankan tidak segera berbenah, maka akan ketinggalan," ujar Advisor PwC Indonesia Chan Cheong.

Berdasarkan data Bank Dunia (World Bank), penetrasi keuangan di Indonesia masih tertinggal dari negara lain, salah satunya India. Saat ini, indeks penetrasi keuangan Indonesia sebesar 48% meningkat dari posisi sebelumnya 36%. Meski ada peningkatan, masih ada lebih dari setengah penduduk Indonesia yang belum tersentuh jasa keuangan.

Di tengah kondisi perbankan yang tidak mampu menjangkau, fintech hadir dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Fintech peer to peer (P2P) lending memangkas waktu dan keribetan dalam pengajuan dan pencairan pinjaman. Calon nasabah tidak perlu datang ke kantor untuk mengajukan kredit, hanya cukup melalui akses online.

(Baca: Cara Terhindar dari Jerat dan Rayuan Fintech Ilegal)

Salah satu dimensi inklusi keuangan adalah akses masyarakat untuk mendapatkan pinjaman dana. Fintech juga memfasilitasi penyedia dana (lender) dengan pihak yang membutuhkan dana (borrower) melalui pasar digital. Ini sangat dibutuhkan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang kesulitan mendapat dana perbankan.  

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebutuhan kredit UMKM nasional mencapai Rp 1.700 triliun per tahun. Lembaga keuangan hanya dapat memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut, sehingga masih ada kekurangan hingga Rp 1.000 trilliun.  

P2P lending berusaha mengisi kekosongan pendanaan segmen UMKM. Data OJK juga menunjukkan bahwa sektor P2P lending Indonesia telah mendanai pinjaman sebesar Rp 1,6 triliun sampai saat ini atau masih sebagian kecil (0.16 persen) dari gap pendanaan yang ada sekarang. 

Dengan potensi yang sangat besar, Asosiasi Fintech Indonesia mencatat lonjakan pertumbuhan dari 6% sepanjang 2011-2012, menjadi 9% di 2013- 2014, kemudian melambung menjadi 78% antara tahun 2015-2016. Angka ini pun diprediksi terus bertambah sejalan dengan masih besarnya potensi pasar Indonesia.  Apalagi pertumbuhan internet di Indonesia sangat cepat. Pada 2020 diperkirakan akan mencapai 145 juta pengguna atau 53% dari jumlah penduduk. Sekitar 73% dari total penggunaan internet diakses menggunakan ponsel pintar.

(Baca: Peluang Fintech Jadi Mesin Pendorong UMKM dan Ekonomi Syariah)

OJK mencatat jumlah peminjam melalui P2P lending hingga September 2018 sebanyak 1,8 juta orang. “Kami antisipasi sampai akhir tahun ini, peminjam (dari layanan P2P lending) mencapai 3 juta orang,” ujar Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan OJK Hendrikus Passagi, Oktober lalu.

Saat ini sudah ada 73 perusahaan fintech berbasis P2P lending yang terdaftar per September 2018, tapi hanya satu yang sudah berizin. Dari 72 perusahaan sisanya, 17 diantaranya sedang mengajukan proses perizinan. Bisnis ini akan terus tumbuh karena ratusan perusahaan masih mengantre untuk masuk daftar tersebut.

OJK memprediksi jumlah pinjaman yang disalurkan oleh perusahaan teknologi (P2P) hingga akhir tahun ini akan mencapai Rp 18 triliun-Rp 20 triliun. Proyeksi ini berdasarkan realisasi penyaluran pinjaman P2P lending hingga Agustus 2018 yang mencapai Rp 11,7 triliun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement