Langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dengan menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpotensi membahayakan keuangan negara. Kebutuhan dana yang besar, membuat perusahaan pelat merah agresif berutang yang secara tidak langsung bisa menimbulkan risiko fiskal dan membebani anggaran negara. Sementara defisit anggaran negara masih tinggi, karena penerimaannya rendah dan tak pernah mencapai target.

Laporan dari Organisasi Negara untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dirilis di sela pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali, pekan lalu, menyoroti permasalahan ini. OECD menilai ada risiko fiskal yang akan muncul dari beban keuangan sejumlah BUMN untuk mendanai proyek infrastruktur pemerintah. “Kerentanan keuangan mulai meningkat di sejumlah BUMN,” seperti dikutip dari Laporan Survei Ekonomi OECD Indonesia 2018.

Advertisement

Menurut OECD, pemerintah menjadikan BUMN unsur penting dalam strategi infrastruktur dan pembangunan dalam beberapa tahun terakhir. Asumsi ini berdasarkan rencana tahun 2016 dalam mempercepat 245 Proyek Strategis Nasional (PSN). Sekitar 30% dari proyek-proyek tersebut mengandalkan pembiayaan dari BUMN.

Belanja modal BUMN ditargetkan hampir 3% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun ini, lebih dari dua kali lipat dari porsi belanja 2015. Pemerintah memang memberikan dukungan, terutama suntikan modal dan program revaluasi aset untuk pembiayaannya. Namun, itu saja belum cukup. Kebutuhan dana yang besar membuat BUMN mencari pendanaan lain dari perbankan dan pasar modal. Walhasil tingkat utang beberapa BUMN mengalami peningkatan yang cukup drastis.

(Baca: Menimbang Beratnya Beban Utang BUMN Karya)

Dalam tiga tahun terakhir surat utang perusahaan pelat merah mendominasi pasar. Berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), total obligasi dan sukuk BUMN hingga Agustus tahun ini, sudah mencapai Rp 251,8 triliun. Nilai ini sudah setara dengan 50,4% dari total outstanding obligasi korporasi yang beredar saat ini Rp 499,9 triliun. Padahal, di 2013 nilainya baru Rp 71,5 triliun atau setara 33% dari total obligasi korporasi

Meski nilai emisi obligasi BUMN tahun ini rata-rata tergolong jumbo, tapi minat investor tinggi, sehingga bisa terserap sepenuhnya. Sepanjang semester pertama saja, ada 6 emiten BUMN yang terbitkan obligasi dengan total nilai Rp 14,92 triliun. Bulan lalu, PT Waskita Karya Tbk menerbitkan obligasi III Tahap III tahun 2018 senilai Rp 2 triliun. Surat utang ini merupakan bagian dari obligasi berkelanjutan yang akan diterbitkan senilai total Rp 10 triliun.

Kepala Divisi Pemeringkatan Korporasi Pefindo Niken Indriarsih mengatakan nilai surat utang yang diterbitkan BUMN umumnya lebih tinggi dibandingkan korporasi swasta dalam beberapa tahun terakhir. Makanya, nilai outstanding-nya meningkat dengan cepat. Beberapa BUMN yang sejak lama tidak pernah menerbitkan obligasi, menjadi sangat aktif dalam tiga tahun belakangan.

Emisi obligasi BUMN kebanyakan berasal dari sektor konstruksi, utilitas dan transportasi. Sejumlah BUMN perbankan juga gencar menerbitkan obligasi untuk membiayaan BUMN sektor riil. Terutama kepada BUMN yang kurang mampu mengakses pasar surat utang karena peringkatnya yang kurang bagus.

Tingginya emisi obligasi oleh BUMN berpotensi menyebabkan struktur keuangan BUMN menjadi sangat ketat, seiring meningkatnya rasio utang BUMN. Makanya, pemerintah memberikan jaminan kepada beberapa surat utang BUMN, agar investor berminat membeli. Salah satunya PT Hutama Karya yang sebelumnya memiliki peringkat A- dari Pefindo. Karena mendapat jaminan pemerintah, Pefindo menaikkan peringkatnya ke level tertinggi, yakni AAA.

Laporan OECD menyatakan kewajiban kontinjensi (utang bersyarat) yang diakui dari beberapa BUMN hanya 0,01% terhadap PDB Indonesia pada 2017. Ini karena keterbatasan pinjaman yang dijamin pemerintah. Faktanya, banyak BUMN yang sangat membutuhkan suntikan modal dari negara. “Potensi kebutuhan suntikan modal merupakan bentuk risiko fiskal tidak langsung,” kata OECD.

(Baca: BUMN Butuh Modal, Bappenas Ingatkan Jangan Andalkan Uang Negara)

Pemerintah mulai jor-joran memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN pada 2015. Dari Rp 3 triliun di 2014, pemerintah meningkatkan PMN kepada BUMN di 2015 menjadi Rp 50,5 triliun. Alokasi suntikan modal ini kembali ditambah pada 2016 yang mencapai 64,5 triliun. Tahun lalu dan tahun ini anggaran PMN dikurang menjadi Rp 6,4 triliun dan 3,6 triliun. Namun, kembali ditambah tahun depan menjadi Rp 17,8 triliun. Pemberian PMN terus menerus akan menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih defisit.

Dengan tambahan modal, kemampuan BUMN menarik utang (leverage) menjadi lebih besar untuk mendanai pembangunan. Pada awal 2018, Standard and Poor (S&P) melaporkan kemampuan berutang atau leverage level 20 BUMN naik signifikan. Rasio utang terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA)  BUMN-BUMN tersebut naik menjadi 5 kali dari 1 kali pada 2011. Tahun ini total utang BUMN diperkirakan mencapai Rp 5.253 triliun, dari Rp 4.825 triliun tahun lalu.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menyadari langkah pemerintah menugaskan BUMN, agar pembangunan proyek infrastruktur bisa dipercepat. Alasannya, pembangunan proyek infrastruktur yang selama ini diserahkan ke swasta, banyak yang mangkrak dan tidak berjalan. Masalah kemampuan pendanaan BUMN yang terbatas perlu mendapat jaminan dari pemerintah, salah satunya dengan suntikan modal.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement