Kisah proyek reklamasi di teluk Jakarta yang penuh polemik akhirnya tamat. Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan resmi mencabut izin prinsip dan pelaksanaan proyek pembangunan 13 pulau buatan yang dikembangkan swasta. Meskipun demikian, ini belum jadi akhir cerita bagi proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall.

Proyek reklamasi dihentikan setelah Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta bentukan Anies melakukan verifikasi ketentuan perizinan dan kewajiban pengembang. Hasilnya, "Kegiatan reklamasi telah dihentikan. Reklamasi menjadi bagian dari sejarah dan bukan masa depan DKI Jakarta," katanya di Jakarta, Rabu (26/9).

Yang dicabut izinya adalah Pulau A, B, dan E yang dikelola oleh PT Kapuk Naga Indah, Pulau J dan K (PT Pembangunan Jaya Ancol), Pulau L (PT Pembangunan Jaya Ancol dan PT Manggala Krida Yudha), Pulau M (PT Manggala Krida Yudha), Pulau O dan F (PT Jakarta Propertindo), Pulau P dan Q (PT Kawasan Ekonomi Khusus Marunda Jakarta), Pulau H (PT Taman Harapan Indah), Pulau I (PT Jaladri Kartika Eka Paksi).

Anies mengungkapkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) telah mengirim surat pencabutan persetujuan prinsip dan pembatalan surat perjanjian kerjasama kepada pihak pengembang. Adapun 4 pulau reklamasi yang sudah terbangun, yakni Pulau C dan D (PT Kapuk Naga Indah), Pulau G (PT Muara Wisesa Samudra), serta Pulau N (Pelindo II) akan diambilalih tata ruang dan pengelolaannya oleh Pemprov DKI sejalan dengan kepentingan masyarakat.

Kecuali Pulau N, pemegang izin prinsip untuk 3 pulau lain yang diambilalih pengelolaannya tersebut, menurut veridikasi Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Jakarta, tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perizinan yang dipersyaratkan, contohnya ketentuan desain dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Meski keputusan Anies mengejutkan, proyek yang sudah menghabiskan dana besar pengembang swasta ini sejak awal memang ditandai dengan proses yang berliku. Sejarah reklamasi pantai Jakarta tak lepas dari proyek pembangunan Waduk Pluit di Jakarta Utara, pada awal dekade 1970-an. Tanah galian waduk tersebut dibuang ke laut yang tak jauh dari lokasi. Saat itu belum ada rencana membangun pulau buatan di Jakarta.

(Baca: Reklamasi Teluk Jakarta, Jokowi Kenalkan Proyek Garuda)

Rencana reklamasi pantai utara Jakarta baru dimulai pada 1986. Kawasan bekas urukan tanah dari Waduk Pluit ditawarkan ke pengembang swasta, yakni Dharmala Group (sekarang PT Intiland Development Tbk) sebagai area permukiman yang kemudian dikenal sebagai Pantai Mutiara. Kegiatan reklamasi ini sempat mendapat banyak protes dan kritikan karena mengakibatkan naiknya suhu air laut yang mengganggu arus pendinginan di PLTU Muara Karang.

Reklamasi tak hanya dilakukan di Pantai Mutiara. Pada 1981, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., juga melaksanakan reklamasi di kawasan Ancol. Kawasan rekreasi ancol diperluas dan membangun dua pulau baru. Dengan reklamasi ini total wilayah Ancol bertambah 190 hektare.

Pada 1994 Pemprov DKI mulai merencanakan reklamasi kawasan pantai di Teluk Jakarta secara besar-besaran. Program menguruk 2.700 ha laut Jakarta pertama kali diajukan kepada Presiden Soeharto pada 1995. Program ini bertujuan mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta sekaligus mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang dinilai tertinggal dibanding wilayah lain.

Soeharto menyetujuinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres ini memberikan wewenang dan tanggung jawab program reklamasi kepada Gubernur DKI Jakarta, sehingga dikeluarkanlah Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995. Namun, proyeknya tak bisa terealisasi karena bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005.

(Baca: Jakarta Terancam Tenggelam 34 Tahun Lagi)

Agar programnya bisa jalan, Pemprov DKI menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada Agustus 1999 yang membuka peluang perluasan area Jakarta seluas 2.700 ha di Jakarta Utara dengan teknik reklamasi. Empat tahun berikutnya, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makariem mengeluarkan keputusan yang menolak reklamasi karena dinilai tidak layak. Pihak swasta yang terlibat dalam kegiatan reklamasi menggugat dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkannya.

Merasa keberatan, Kementerian LH mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan reklamasi menyalahi amdal. Beberapa tahun kemudian kondisinya berbalik. Pada 2011, MA mengeluarkan keputusan baru yang melegalkan reklamasi di Pantai Jakarta. Pemprov DKI harus membuat amdal baru serta membuat dokumen Kajian lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemerintah daerah (Pemda) di sekitar wilayah Teluk Jakarta.

Anies Baswedan saat penyegelan di Pulau D
Anies Baswedan saat penyegelan di Pulau D (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan peraturan tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada tahun yang sama, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengeluarkan Pergub Nomor 121 Tahun 2012, sebulan sebelum masa jabatannya habis. Melalui aturan ini desain reklamasi berubah menjadi pembentukan 17 pulau baru. Pulau-pulau itu akan digunakan sebagai permukiman, wisata, perdagangan, dan distribusi barang.

Kepemimpinan di Jakarta pun berganti, Pemprov DKI menerbitkan izin prinsip kepada masing-masing pengembang pulau buatan. Dari 17 pulau, empat pulau mulai dibangun, yakni Pulau C, D, G, dan N. Pulau C dan D dibangun oleh Grup Agung Sedayu, Pulau G oleh Agung Podomoro, dan Pulau N merupakan Pelabuhan New Priok yang dibangun PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement