Gerakan Senyap Pelumpuhan KPK di Ujung Masa Kerja DPR

Dimas Jarot Bayu
6 September 2019, 11:16
KPK, DPR, Korupsi.
ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, menyatakan penolakan terhadap revisi UU KPK yang dibahas di DPR, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti mendapat ujian bertubi-tubi beberapa waktu belakangan. Belum beres persoalan sepuluh calon pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, komisi antirasuah kini harus menghadapi ancaman pelemahan lembaga lewat revisi Undang-undang (RUU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tengah dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Revisi payung hukum KPK ini mendadak muncul kembali di akhir masa periode DPR 2014-2019 setelah 'mati suri' dua tahun lalu. Pembahasan revisi aturan sempat tertunda pada 2017 lantaran mendapatkan banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat. 

Tiba-tiba dalam rapat pleno tertutup Badan Legislasi (Baleg) DPR yang digelar pada Selasa (3/9) malam, semua fraksi menyetujui untuk merevisi UU KPK. Usulan Baleg itu kemudian dibawa ke rapat paripurna pada Kamis (5/9) untuk disepakati sebagai RUU inisiatif DPR.

(Baca: Seluruh Fraksi Sepakat RUU KPK jadi Usul Inisiatif DPR)

Setali tiga uang, proses persetujuan RUU KPK dalam rapat paripurna terhitung cepat, hanya lima menit. Seluruh anggota dewan yang hadir langsung bersepakat tanpa adanya penolakan berarti dari tiap-tiap fraksi di parlemen.

“Pendapat fraksi-fraksi tentang usul Badan Legislasi (Baleg) DPR tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dapat disetujui menjadi usul DPR?” tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto yang disambut kata setuju seluruh fraksi.

Berdasarkan RUU KPK yang disetujui dalam rapat paripurna, ancaman terhadap KPK hadir melalui sepuluh poin revisi. Indonesia Corruption Watch (ICW) merinci sepuluh poin tersebut adalah adanya pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37A-37G), kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) (Pasal 40), serta diharuskannya KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam tugas penuntutan (Pasal 12A).

(Baca: Tolak Revisi UU KPK, Komisioner Akan Surati Jokowi)

Kemudian, KPK butuh izin penyadapan dari Dewan Pengawas (Pasal 12B), status KPK yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan (Pasal 3), dan pembatasan waktu KPK untuk menangani perkara selama satu tahun (Pasal 40 ayat 1). Lalu, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan (Pasal 70 huruf c), dihapuskannya kewenangan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik independen (Pasal 43 dan 45),  tak bisa membuka kantor perwakilan (Pasal 19), dan adanya syarat pimpinan KPK harus berumur 50 tahun (Pasal 29). 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...