Berharap Omnibus Law UU Ciptaker Menutup Dua Dekade Suram Industri RI

Ameidyo Daud Nasution
8 Oktober 2020, 18:33
omnibus law, industri, cipta kerja
ANTARA FOTO/Siswowidodo/hp.
Suasana pekerja di ruang produksi pabrik rokok PT Digjaya Mulia Abadi (DMA) mitra PT HM Sampoerna, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (16/6/2020). Pabrik rokok yang mempekerjakan 890 orang pekerja tersebut beroperasi lagi setelah diliburkan selama sepekan menyusul adanya seorang pekerja yang dinyatakan positif COVID-19.

Pemerintah dan pengusaha punya beberapa faktor pendorong terbitnya omnibus law Undang-undang Cipta Kerja. Mulai dari penyediaan lapangan kerja, keluar dari jebakan negara kelas menengah, hingga mengatasi deindustrialisasi.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani gencar menyuarakan isu deindustrialisasi tersebut sejak tahun lalu. Sebab fenomena ini telah terjadi hampir dua dekade di RI.  Presiden Joko Widodo juga pernah menyampaikan terjadinya penurunan porsi aktivitas industri pada 2015.

Advertisement

Rosan yang juga menjabat Ketua Satuan Tugas Omnibus Law ini memastikan salah satu pendorong keluarnya aturan sapu jagat adalah menyelamatkan manufaktur dari deindustrialisasi.  “Betul sekali (mencegah deindustrialisasi),” kata Rosan kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).

Ekonom juga menyebut deindustrialisasi di Indonesia sudah terjadi hampir 20 tahun dan perlu diperbaiki. Direktur Eksekutif  Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan  proporsi manufaktur pada ekonomi RI tahun 2000 mencapai 39,8%, Namun angkanya menurun jadi 26,9% pada 2019.

Berkebalikan dengan itu, porsi jasa dalam kue ekonomi nasional terus meningkat dari 44,6% pada 2000 menjadi 60,3% tahun lalu. Sedangkan di waktu bersamaan, pertumbuhan angka investasi terus terjadi. “Ini artinya investasi masuk ke sektor jasa, padat modal, teknologi, dan tersier,” kata Tauhid kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).

Dia menjelaskan faktor ketenagakerjaan, terutama pengupahan dan produktivitas perlu menjadi pembenahan agar manufaktur kembali menggeliat. Oleh sebab itu Tauhid meminta pemerintah benar-benar menyasar hal utama yakni sistem upah.

"Karena dibandingkan negara lain, upah di sini masih murah. Yang investor khawatir, kenaikan upahnya sulit diprediksi,” kata dia.

Dia menyampaikan, dari data Japan External Trade Organization (JETRO), tingkat pertumbuhan upah di Indonesia rata-rata mencapai 8%. Ini lebih tinggi dari Tiongkok hingga Vietnam yang berkisar antara 4,5% hingga 7%.

Bukan Jalan Keluar Utama

Tauhid mengatakan pemerintah perlu membenahi kondisi ketenagakerjaan RI untuk mencegah deindustrialisasi. Namun ia tak yakin omnibus law bisa menjadi jalan keluar utama.

Perubahan bisa dilakukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Jika sebelumnya formulasi upah dilakukan dengan besaran pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, maka komponen pertumbuhan bisa diganti dengan produktivitas perusahaan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement