Lubang-lubang Hukum Penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja

Ameidyo Daud Nasution
12 Oktober 2020, 21:59
cipta kerja, omnibus law, DPR
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Sejumlah buruh dari berbagai konfederasi mengikuti aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Dalam aksinya para buruh dari 62 konfederasi tersebut menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dinilai merugikan buruh dan berpihak pada kepentingan investor, serta berencana akan melakukan aksi mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020.

Polemik Undang-undang Cipta Kerja semakin menggelinding hanya dalam sepekan usai pengesahannya. Bersamaan demonstrasi penolakan aturan sapu jagat ini berujung rusuh, ternyata masalah lain masih muncul.

Naskah aturan berisi 905 halaman yang tersebar dan jamak dibaca oleh publik ternyata bukanlah naskah final. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Achmad Baidowi.

“Bukan, versinya beda-beda,” kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini pada Kamis (8/10) lalu.

Bahkan tak semua Anggota DPR mendapatkan naskah terbaru UU Cipta Kerja. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan belum mendapatkan aturan teranyar yang telah disahkan.

“Kami minta secara tertulis mana sesungguhnya draf yang sudah diketok di paripurna itu untuk mengurangi perbedaan dan kesalahpahaman,” kata Anggota Fraksi PKS Bukhori Yusuf, Sabtu (12/10) dikutip dari Kompas.com.

Setelah empat hari, muncul naskah UU Cipta Kerja yang berisi 1.035 halaman di kalangan awak media. Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indra Iskandar mengonfirmasikan bahwa naskah tersebut merupakan lembaran terbaru UU Cipta Kerja.

Ketidakjelasan akses terhadap aturan raksasa ini menimbulkan kekhawatiran, sejauh apa kualitas pembahasan UU Cipta Kerja ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sehingga masih ada perubahan setelah ketok palu.

Bukan tanpa sebab, ada penambahan ayat serta kalimat dalam aturan terbaru tersebut. Dari lampiran yang diterima Katadata.co.id, ada penambahan ayat 6 dalam Pasal 79 Bab Ketenagakerjaan aturan tersebut.

Dalam aturan terbaru, ada kalimat ketentuan detail perusahaan yang memberikan cuti atau istirahat panjang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tak hanya itu, jika dibandingkan dengan ketentuan yang lama, sejumlah perbaikan terlihat dalam aturan ini. Beberapa di antaranya adalah saltik (typo) hingga penambahan tanda baca.

Belum lagi pembahasan aturan ini berjalan dengan cepat diseretai pembahasan pada akhir pekan. Tak hanya itu, rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja juga maju dari 8 Oktober menjadi 5 Oktober.

Masalah Keterbukaan

Model pembahasan UU Cipta Kerja ini mendapatkan kritik, salah satunya dari dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Zainal mengkhawatirkan ada perubahan jika suatu UU telah disahkan.

Dia lalu mncontohkan kejadian seperti ini pernah terjadi pada hilangnya Ayat Tembakau pada pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan sewindu lalu. Tak hanya itu, polemik soal kalimat pernah terjadi pada ketentuan usia dalam UU Komis Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Karena itu substansi, dan pengesahan itu sifatnya administratif,” kata Zainal, dalam akun Instagram yang diatribusikan sebagai dirinya, Minggu (11/10).

Kritik juga datang dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari yang mempermasalahkan keterbukaan pembahasan dan akses publik untuk mengetahui naskah asli. Menurut Feri, hal itu tak sejalan dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...