Menristek Andalkan Tes Corona dengan GeNose Milik UGM, Harganya Murah
Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Salah satunya dengan GeNose yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan GeNose mampu mendeteksi Covid-19 melalui napas. Metode pemeriksaan tersebut dinilai lebih murah dan lebih akurat dibandingkan tes PCR.
Bambang sebelumnya mengatakan biaya alat deteksi Covid-19 lewat napas ini hanya Rp 40 juta untuk 100 ribu pemeriksaan. Sedangkan PCR memerlukan fasilitas dan mesin dengan harga Rp 1 miliar. Sedangkan dari laman Alodokter, biaya tes PCR di sejumlah rumah sakit mencapai Rp 900 ribu sampai Rp 2,5 juta.
"Inovasi dalam negeri yang bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan PCR test dan meningkatkan screening yang lebih baik, yaitu GeNose," kata Bambang usai menghadiri rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo secara virtual, Senin (12/10).
Saat ini, GeNose tengah memasuki uji klinis tahap pertama pada sebuah rumah sakit di Jogjakarta serta akan diperluas pada rumah sakit lainnya. Bambang menyebutkan, tingkat akurasinya mencapai 97%.
Selain mengurangi ketergantungan pada tes PCR, GeNose juga dapat menjadi solusi screening virus corona dalam tubuh seseorang. Sebab, selama ini deteksi Covid-19 melalui tes cepat (rapid test) memiliki tingkat akurasi yang lebih rendah.
Selain UGM, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengembangkan RT Lamp yang dapat menggantikan tes usap. Menurutnya, RT Lamp dapat melakukan tes lebih cepat, yaitu kurang dari satu jam lantaran tidak menggunakan laboratorium biosafety level (BSL) 2.
Apalagi selama ini, swab test dinilai memakan waktu yang lama saat proses pemeriksaan di laboratorium. "Ini jadi solusi rumitnya testing pakai PCR. Jauh lebih cepat dan murah. Tingkat akurasi bisa dipertanggungjawabkan," ujar Bambang.
Selain itu empat perusahaan swasta juga memproduksi rapid test antibodi guna mengurangi ketergantungan terhadap impor. Saat ini produksinya telah mencapai 350 ribu per bulan dan akan meningkat menjadi 1-2 juta per bulan pada November.
Dari sisi pengobatan, inovasi produk plasma convalescent telah memasuki tahap uji klinis fase pertama. Bambang mengatakan dari uji klinis tersebut, tidak ada temuan efek samping yang serius dari terapi plasma.
Sedangkan rekomendasi dari uji klinis fase pertama ialah terapi plasma convalescent bisa digunakan untuk pasien dengan gejala sedang. "Bila ada kematian pada pasien yang jalani uji klinis tersebut, bukan karena kegagalan terapi tapi karena penyakit bawaan yang sangat berat," ujar Bambang.
Di sisi lain, inovasi juga dilakukan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Bambang mengatakan, Eijkman tengah mengembangkan Elisa, pengukur kadar antibodi Covid-19 dari donor plasma pasien corona.
Nantinya, alat tersebut dapat mengukur kadar antibodi seseorang setelah diberikan vaksin Covid-19. "Elisa bisa mengukur apakah setelah vaksinasi, seseorang berhasil mengeluarkan kadar antibodi seperti yang diharapkan untuk menangkal Covid-19," katanya.
Sedangkan Jokowi kerap mewanti-wanti masyarakat agar disiplin menjalankan protokol kesehatan demi memutus penularan corona. Salah satunya melaksanakan 3M yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
"Tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat untuk berubah. Menyesuaikan diri untuk menaati protokol kesehatan katanya pada awal Oktober lalu.