Simpang Siur Pasal Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, Ini Faktanya

Ameidyo Daud Nasution
14 Oktober 2020, 21:28
cipta kerja, buruh, omnibus law
ANTARA FOTO/Siswowidodo/hp.
Suasana pekerja di ruang produksi pabrik rokok PT Digjaya Mulia Abadi (DMA) mitra PT HM Sampoerna, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (16/6/2020). Pabrik rokok yang mempekerjakan 890 orang pekerja tersebut beroperasi lagi setelah diliburkan selama sepekan menyusul adanya seorang pekerja yang dinyatakan positif COVID-19.

Berbagai informasi yang belum jelas kebenarannya beredar usai pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di DPR pada Senin pekan lalu. Bahkan Presiden Joko Widodo sempat menuding demonstrasi yang terjadi karena dipicu merebaknya hoaks.

Beberapa yang disinggung Presiden adalah pemberlakuan upah per jam, penghapusan cuti tanpa kompensasi, mudahnya pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, dan hilangnya jaminan sosial.

Tak hanya itu, aparat juga menciduk orang-orang yang dianggap menyebarkan berita bohong. Meski demikian, sebelumnya buruh membantah bahwa aturan tersebut adalah kebohongan. Mereka menyatakan beberapa klausul soal jam kerja, pekerja alih daya, kontrak, hingga pesangon berpotensi terjadi.

Dikutip dari beberapa pemberitaan, ada lebih dari 10 hal krusial yang terus menjadi perdebatan dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Dikutip dari UU Cipta Kerja terbaru yang berisi 812 halaman dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berikut kabar yang beredar dan aturan yang sebenarnya tertulis dalam aturan sapu jagat tersebut.

Penghapusan cuti haid, hamil, dan melahirkan

Dalam Pasal 79 ayat 1 UU Cipta Kerja, pengusaha tetap wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada buruh. Cuti paling sedikit diberikan selama 12 hari usai pekerja bekerja 12 bulan secara terus menerus. Sedangkan ketentuan haid dan melahirkan tetap mengacu pada Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Penghapusan pesangon

Ketentuan pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 156 UU Cipta Kerja. Uang pesangon maksimal diberikan sembilan bulan upah dengan uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah. Dalam Pasal 18, sisa enam bulan upah akan ditanggung pemerintah dengan format Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).  

Upah per jam

Dalam Pasal 88B, kebijakan pengupahan dihitung berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Aturan ini belum menjelaskan detail satuan tersebut dan pada ayat (2) Pasal 88B menyatakan ketentuan lebih jauh akan masuk dalam Peraturan Pemerintah.

Perusahaan bebas melakukan PHK

Pasal 154A mengatur 15 alasan pengusaha dapat melakukan PHK kepada pekerjanya. PHK bisa diajukan jika perusahaan melakukan penggabungan hingga pemisahan entitas, efisiensi dengan penutupan perusahaan, dan kerugian selama 2 tahun berturut-turut.

Faktor lainnya adalah perusahaan tutup karena keadaan memaksa, dalam keadaan penundaan kewajiban bayar utang, pailit, ada permohonan dari buruh, adanya putusan perselisihan hubungan industrial, buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri, dan mangkir selama lima hari berturut-turut.

Alasan lain, buruh melakukan pelanggaran yang diatur perusahaan, buruh tak dapat bekerja selama enam bulan akibat ditahan karena tindak pidana, pekerja mengalami sakit atau cacat dan tidak dapat melakukan pekerjaan setelah melampaui batas 12 bulan, buruh masuk usia pensiun, dan meninggal dunia.

Dalam UU 13 Tahun 2003, klausul ini sebenarnya diatur lebih detail. Namun dalam UU Cipta Kerja, Pasal 161 sampai 172 ini telah dihapus. Adapun 10 kriteria pekerja yang tak boleh kena PHK tetap mengacu UU Ketenagakerjaan.Sedangkan ketentuan detail tata cara PHK akan mengacu Peraturan Pemerintah.

 Penghapusan Upah Minimum Kabupaten (UMK), Upah Minimum Provinsi (UMP), dan Upah Sektoral

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...