Upaya Menggulirkan UU Cipta Kerja ke Hadapan Hakim Konstitusi

Rizky Alika
16 Oktober 2020, 06:00
MK, uu cipta kerja, omnibus law
123RF.com/Alexander Sikov
Serikat pekerja siap mengajukan judicial review UU Cipta Kerja usai menolak terlibat dalam penyusunan RPP turunan aturan sapu jagat tersebut.

Polemik Bab Ketenagakerjaan Undang-undang Cipta Kerja mulai memasuki babak baru. Serikat pekerja siap mengajukan judicial review alias peninjauan kembali aturan sapu jagat tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bahkan beberapa serikat telah memutuskan untuk tak ikut dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan UU Cipta Kerja. Mereka beralasan ingin menempuh opsi gugatan ke MK sebagai langkah awal.

Padahal Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengajak buruh, pengusaha, dan akademisi dalam menyusun tiga RPP turunan UU Cipta Kerja. Namun serikat pekerja memiliki argumentasi sendiri.

“Kontradiktif juga kalau ikut (susun RPP), mengapa ikut merancang apa yang kami tolak,” kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh indonesia (KSBSI) Elly Rosita kepada Katadata.co.id, Kamis (15/10).

Saat ini buruh sedang menunggu penomoran UU Cipta Kerja sebelum membawa pasal yang dianggap kontroversial ke MK. Tak hanya uji materil, mereka akan mengajukan uji formil aturan ini.

“Karena proses pembentukannya kami anggap melanggar UU Nomor 11 Tahun 2011 (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar Cahyono, Kamis (15/10).

Terkait uji materil, Kahar masih enggan menyebut pasal secara spesifik lantaran khawatir draf aturan terbaru berubah lagi. Meski demikian ia menyinggung 10 substansi yang kemungkinan akan dibawa ke MK.

Kesepuluh substansi tersebut adalah upah minimum, pesangon, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja alih daya (outsourcing), waktu kerja, sanksi pidana, tenaga kerja asing, cuti serta upah atas hak cuti, dan jaminan sosial.

Dalam draf UU Cipta Kerja yang berisi 812 halaman, ketentuan upah minimum diatur dalam Pasal 88C-88E, 90A, dan 90B. Aturan pesangon diatur dalam Pasal 156-157, PKWT masuk dalam Pasal 56, 57, dan 59 ayat (2).

Ketentuan PHK masuk dalam Pasal 151, 153, 154A, 157 ayat (2), dan 160 ayat (3). Aturan outsourcing diatur dalam Pasal 66, sedangkan waktu kerja masuk dalam Pasal 77 dan 78.

Aturan TKA diatur dalam Pasal 42, 45, 47, dan 49. Ketentuan cuti masuk dalam Pasal 79 dan 156 ayat (4). Adapun buruh mempermasalahkan potensi tabrakan aturan sehingga mereka berpotensi tak mendapatkan jaminan sosial.

“Misalnya kalau kontrak kerja bebas, tiga bulan bekerja dipecat dan nantinya dikontrak lagi, bisa kehilangan jaminan pensiun,” kata Kahar.

Sedangkan dalam ketentuan pidana, buruh menyoroti beberapa pasal yang tak ada dalam draf. Salah satunya Pasal 167 yang mengatur kewajiban pengusaha wajib memberi uang dua kali pesangon jika tak mengikutsertakan buruh PHK pada program pensiun.

Dalam Pasal 184 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengsuaha yang tak memenuhi kewajiban tersebut terancam pidana penjara paling lama lima tahun. “Isunya terutama pada pasal yang dihapus,” kata Kahar.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...