Dakwaan Suap & Gratifikasi Eks Sekretaris MA Nurhadi Capai Rp 83 M
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya yakni Rezky Herbiyanto didakwa menerima suap dan gratifikasi Rp 83 miliar oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Angka tersebut terdiri dari suap 45,76 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal 2014-2016 Hiendra Soenjoto dan gratifikasi sepanjang 2014 hingga 2017 senilai Rp 37,2 miliar.
Dari uang tersebut, Nurhadi dan Rezky menggunakannya untuk berbagai hal seperti membeli lahan sawit di Padang Lawas, membeli tas Hermes, jam tangan, mobil Land Cruiser, Lexus, dan Alphard, hingga berlibur ke luar negeri.
Keduanya didakwa menerima uang terkait dua gugatan hukum yakni PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait sewa depo container PT KBN di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Sedangkan kasus kedua adalah gugatan perkara Hiendra melawan Azhar Umar.
"Terdakwa I Nurhadi selaku Sekretaris MA 2012-2016 bersama terdakwa II Rezky Herbiyanto menerima Rp 45,7 miliar dari Hiendra," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (22/10).
Atas perbuatannya, Nurhadi dan Rezky didakwa Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009 dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup.
Gugatan PT MIT melawan KBN diajukan Hiendra pada 27 Agustus 2010 dan 16 Maret 2011. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara saat itu mengabulkan gugatan MIT dan menghukum KBN membayar ganti rugi Rp 81,7 miliar.
KBN lalu mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan tersebut. Hal ini membuat BUMN tersebut mengajukan kasasi ke MA. Pada 29 Agustus 2013, MA menghukum PT MIT membayar ganti rugi Rp 6,8 miliar kepada KBN.
Hiendra lalu minta diperkenalkan dengan adik ipar Nurhadi sekaligus paman Rezky yakni Rahmat Santoso untuk menjadi kuasa hukumnya dalam Peninjauan Kembali gugatan dengan KBN. Tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberikan Rp 300 juta kepada Rahmat dan cek senilai Rp 5 miliar.
Namun beberapa hari kemudian Hiendra mencabut kuasa Rahmat dan meminta bantuan Rezky yang bukan pengacara. “Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk mengurus perkara meski saat itu terdakwa II bukan advokat,” kata JPU.
Rezky lewat Calvin Pratama lalu membuat perjanjian dengan Hiendra terkait fee administrasi penggunaan depo kontainer Rp 15 miliar dengan jaminan PT MIT senilai Rp 30 miliar. Padahal Hiendra tak memiliki dana pengurusan perkara.
Demi realisasi tersebut, Rezky menerima uang muka Rp 400 juta pada 22 Mei 2015. Rezky lalu meminta uang Rp 10 miliar kepada Iwan Cendekia Liman untuk mengurus perkara MIT karena Hiendra belum membayar fee.
“Terdakwa II menyampaikan kepada Iwan bahwa perkara ditangani terdakwa I dan uang akan dikembalikan dari dana yang yang didapat dari pembayaran ganti rugi PT KBN rp 81,7 miliar,” kata jaksa.
PN Jakut lalu menolak gugatan kedua MIT pada 4 Juni 2015. PK MIT juga ditolak MA 12 hari kemudian. Meski begitu, Nurhadi lewat Rezky masih menjanjikan Hiendra pengurusan lahan depo kontainer tersebut.
Iwan lalu mentransfer Rp 10 miliar pada 19 Juni 2019. Setelah itu Rezky menyerahkan cek senilai Rp 30 miliar atas namanya. Tanggal 20 Juni 2015, Rezky menyatakan kepada Iwan bahwa perkara MIT telah aman di tangan Nurhadi.
Sedangkan dalam perkara gugatan Hiendra melawan Azhar, Nurhadi lewat Rezky terlibat dalam pengurusan gugatan tentang akta Rapat Umum Pemegang Saham MIT di PN Jakarta Pusat pada 5 Januari 2015.
PN Jakpus lalu menolak gugatan Azhar, begitu pula saat banding di PT DKI sehingga Azhar mengajukan kasasi. Adapun sampai saat ini Hiendra masih berstatus buron usai ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam kasus gratifikasi Rp 37,2 miliar, Nurhadi dan Rezky mendapatkannya dari para pihak yang yang berperkara di pengadilan pada 2014 hingga 2017 baik tingkat pertama, banding, kasasi, maupun PK. Pemberian tersebut berasal dari Handoko Sujitro, Renny Susetyo Wardani, Donny Gunawan, Freddy Setiawan, dan Riadi Waluyo.
Atas perbuatannya ini, keduanya diancam pidana Pasa 12B UU 31 Tahun 2009 yakni empat sampai 20 tahun penjara dan denda Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. “Terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK pada tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan UU,” kata JPU Takdir Suhan.
Sedangka Nurhadi membantah semua dakwaan tersebut dan memohon keadilan hakim. "Dakwaan yang diajukan semuanya tidak benar, nanti akan saya buktikan," katanya.