Gugatan Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja Mulai Mengalir ke Meja MK
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun belum sehari UU tersebut diteken, sejumlah pasal dalam aturan sapu jagat ini sudah dibawa untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pihak yang paling awal mengajukan permohonan adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Dokumen dengan nomor tanda terima 2045/PAN.MK/XI/2020 tersebut telah diterima MK, Senin (2/11).
Mereka beralasan aturan ketenagakerjaan UU Cipta Kerja berpotensi mendatangkan dampak negatif kepada buruh. “Setelah kami pelajari isi UU tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Selasa (3/11).
KSPI juga memerinci beberapa pasal yang telah didaftarkan untuk menjalani uji materi ke MK. Salah satunya adalah Pasal 42 yang membahas tenaga kerja asing (TKA). Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, rencana penggunaan TKA harus berdasarkan izin tertulis Menteri. Namun ketentuan tersebut telah diubah menjadi disahkan pemerintah pusat.
“Selain itu Pasal 42 Ayat 3 juga karena akan semakin banyak TKA yang bekerja tanpa izin,” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar Cahyono kepada Katadata.co.id, Selasa (3/11).
Ketentuan lain yang diuji adalah penghapusan Pasal 64 dan 65 dalam UU Cipta Kerja. Dua pasal tersebut membahas tentang pekerjaan Borongan.
Selain itu, pasal lain yang dibawa ke MK adalah Pasal 66 yang mengatur pekerja alih daya (outsource). Pasal 77 juga akan diuji oleh Hakim Konstitusi terutama mengenai penjelasan beleid tersebut.
Dia beralasan dalam penjelasan di UU 13, ketentuan waktu kerja yang diatur yakni 7 jam sehari dan 8 jam tidak berlaku pada beberapa jenis bidang kerja seperti lepas pantai dan angkutan umum. Namun definisi pekerjaan tersebut hilang dalam UU Cipta Kerja.
“Khawatirnya pekerja hanya dipekerjakan setengah hari dan upahnya hanya dibayar separuh,” kata Kahar.
Pasal lain adalah Pasal 79 ayat 5 yang mengatur pemberian istirahat panjang alias cuti dalam perjanjian kerja bersama. Berikutnya adalah Pasal 88 C Ayat 2 bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. “Ayat kedua disebutkan kata ‘dapat’, frasa itu berpotensi bermasalah,” kata Kahar.
Buruh juga menguji penghapusan Pasal 89 ke MK untuk diuji secara materi. Dalam UU 13 Tahun 2003, pasal ini membahas tentang upah minimum sektoral.
Begitu pula Pasal 156 yang mengatur soal pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan hubungan kerja (PHK). “Pasal ini seluruhnya lima ayat dan kami ajukan,” kata Kahar.
Tak hanya itu, serikat pekerja juga menguji Pasal 46A UU Ciptaker yang mengatur Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kahar mengatakan alasannya adalah agar pasal ini mengatur jaminan bagi pekerja alih daya hingga yang bukan anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. “Yang hilang pekerjaan bukan karena PHK harusnya juga dapat (JKP),” kata Kahar.
Tak Diikuti Pegiat Lingkungan
Bab ketenagakerjaan bersama lingkungan menjadi klaster UU Cipta Kerja yang menjadi sorotan beberapa pihak. Namun berbeda dengan serikat buruh, pegiat lingkungan hidup cenderung belum tertarik mengajukan judicial review ke MK.
Baik Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati dan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin menganggap UU Cipta Kerja sudah tak memiliki legitimasi. Oleh sebab itu mereka merasa tak perlu membawa aturan ini ke MK yang merupakan jalur hukum yang sah.
“Yang kami lakukan terus menggelar aksi penolakan omnibus law walaupun kami tahun KSPI akan melakukan judicial review," kata Asep kepada Katadata.co.id.
Meski demikian, beberapa pasal yang menjadi sorotan mereka antara lain hilangnya Pasal 29, 30, dan 31 UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam tiga pasal ini beberapa ketentuan penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan diubah mulai dari hilangnya partisipasi masyarakat hingga Komisi Penilaian Amdal (KPA).
Selain perubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan juga menjadi catatan aktivis lingkungan. Asep mengatakan jika izin dihapuskan, maka peluang masyarakat mengajukan hak koreksi terhadap kegiatan usaha menjadi hilang.
“Karena dihapus juga (hak) untuk mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” katanya.
Namun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan UU Cipta Kerja tidak akan memicu eksploitasi lingkungan. Menurutnya, pasal-pasal yang tercantum dalam aturan tersebut serta dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menganut prinsip kehati-hatian.
Guna mencegah kekhawatiran masyarakat, pemerintah menggunakan instrumen pengontrol yakni Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan memastikan rencana suatu program.
"Dilihat dulu secara aspek lingkungannya gimana, strateginya gimana, kebijakannya apa, rencananya apa, programnya gimana, koherensi dengan lingkungan seperti apa," ujar Siti, Selasa (3/11).
Meski telah ditandatangani Presiden, UU Cipta Kerja bukannya tak menyisakan masalah. Masih ada kekeliruan dalam sejumlah frasa Pasal 6 yang membahas peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Pasal tersebut merujuk Pasal 5 ayat 1 huruf a dari bab sebelumnya. Masalahnya, Pasal 5 hanya berdiri tunggal tanpa penjelasan dalam ayat dan huruf.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui masih ada kesalahan teknis dalam UU tersebut. Makanya Kemensetneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki kekeliruan.
“Namun kekeliruan itu hanya bersifat teknis administratif sehingga tak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11).