Pacu Daya Saing, Kunci RI Menangkan Persaingan di Dalam RCEP

Rizky Alika
20 Januari 2021, 18:46
perdagangan, RCEP, internasional
Agung Samosir|KATADATA
Aktifitas bongkar muat kontainer di PT Jakarta International Container Terminal (JICT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pemerintah mengatakan memacu daya saing jadi kunci memenangkan persaingan dalam RCEP.

Perjanjian perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) telah ditandatangani jelang akhir tahun lalu. Selain peluang yang besar, Pemerintah juga mengakui ada tantangan yang besar dari perjanjian ini.

Kementerian Perdagangan juga menyatakan satu-satunya cara agar Indonesia sukses dalam perjanjian dagang raksasa ini adalah dengan meningkatkan daya saing. Apalagi ada persaingan antar negara dalam memperebutkan kue perdagangan dalam RCEP.

Advertisement

“Maka perlu menciptakan daya saing untuk mengambil manfaat terbukanya akses pasar di negara lain,” kata Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan Antonius Yudi Trianto dalam webinar bertajuk “Stimulus Covid-19 dan RCEP: Pemacu Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Dunia 2021-2022” yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya, Ikaprama dan Katadata.co.id, Rabu (20/1).

Adapun, negara-negara anggota RCEP telah menjadi pasar tujuan utama ekspor Indonesia pada 2019, yaitu sebesar 57% dari total ekspor. Sementara, total impor Indonesia dari negara anggota RCEP mencapai 67% pada 2019.

Yudi mengatakan saat ini pemerintah mendorong proses ratifikasi perjanjian tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, pemetaan terhadap keunggulan sektor asal RI di rantai pasok juga sedang dlakukan.

“Sehingga RCEP dapat mendorong transformasi khususnya dari ekspor yang berbasis komoditas menjadi produk jadi dan setengah jadi,” katanya.

Pemetaan juga dilakukan pada sektor yang menjadi kelemahan Indonesia agar dapat perlindungan. Yudi mengatakan seluruh proses tersebut bisa memakan waktu tiga tahun. “Saya rasa cukup untuk mempersiapkan sektor tersebut bersaing dan memberi manfaat,” katanya.

Adapun Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyoroti rendahnya peran RI dalam rantai pasok global. Hal ini terlihat dari Backward Value Added (BVA) Indonesia yang hanya 10% dari data UNCTAD EORA.

BVA menggambarkan besaran ekspor di suatu negara yang produknya berasal dari impor. Di sisi lain, Foreign Value Added (FVA) Indonesia sekitar 38%. Adapun, FVA menggambarkan ekspor suatu negara yang produknya diinput dari negara lain.

"Kalau seperti ini terus (partisipasi dalam rantai pasok global rendah), percuma saja ikut RCEP. Percuma reformasi Omnibus Law," kata Yose Rizal.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement