Potensi Masalah Tenaga Kerja Pasca Terbitnya PP Turunan UU Cipta Kerja

Rizky Alika
25 Februari 2021, 06:30
phk, buruh, pengusaha, cipta kerja
Adrian Hillman/123rf
Peraturan Pemerintah turunan Undang-undang Cipta Kerja telah diterbitkan pemerintah. Namun pekerja dan pengusaha menganggap ada potensi masalah dari ketentuan pesangon.
  • Pengusaha dan buruh sama-sama menyoroti ketentuan pesangon dibayar separuh 
  • Pengusaha menganggap ketentuan ini jalan tengah dari beratnya pesangon yang kerap dibayar
  • Serikat pekerja mengkaji judicial review aturan ini ke MK

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Regulasi tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja.

Melalui aturan tersebut, pesangon untuk korban PHK hanya setengah dari aturan bila terbentur sejumlah kondisi. Salah satunya, pesangon separuh dari ketentuan bila perusahaan tutup dan merugi.

Advertisement

"Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian maka pekerja/ buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2)," demikian tertulis dalam Pasal 43 aturan tersebut seperti dikutip Rabu (24/2).

Adapun, Pasal 40 Ayat 2 menetapkan ketentuan uang pesangon bergantung dari masa kerja. Pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun mendapatkan 1 bulan upah.

Sementara, pekerja dengan masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun mendapatkan 2 kali upah. Jumlah upah tersebut bertambah 1 bulan setiap masa kerja lebih lama 1 tahun. Adapun, batas maksimumnya ialah masa kerja 8 tahun atau lebih memperoleh 9 bulan upah.

Selanjutnya, ketentuan pesangon setengah dari Pasal 40 ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh yang terkena PHK karena pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja. Kondisi ini terjadi bila pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja karena perubahan syarat kerja tersebut.

Ketentuan yang sama juga berlaku bagi korban PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau kerugian tidak secara terus menerus selama 2 tahun, PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur), karena perusahaan dalam penundaan pembayaran utang yang disebabkan perusahaan merugi, dan karena perusaahaan pailit.

Kemudian, pesangon dengan besaran setengah dari Pasal 40 ayat (2) berlaku bagi korban PHK karena pekerja/buruh melanggar ketentuan perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.

Selain itu, uang pesangon dipangkas 0,25% untuk alasan PHK keadaan memaksa (force majeure) yang tidak mengakibatkan perusahaan tutup. Dalam hal ini, pekerja/buruh akan mendapatkan uang pesangon sebesar 0,75 kali ketentuan Pasal 40 ayat 2, uang penghargaan dan uang penggantian hak.

Selanjutnya, bagaimana dampak aturan tersebut terhadap pekerja dan pengusaha ?

Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Yorrys Raweyai, Bibit Gunawan mengatakan aturan tersebut berpotensi merugikan pekerja. Semestinya, pesangon ditetapkan sebesar 1 kali dari ketentuan, namun, aturan PP 5/2021 justru tidak sesuai dengan norma tersebut.

"Bukannya melindungi, justru membuat pekerja/buruh memburuk dan kemungkinan PHK jadi besar," kata Bibit saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (23/2).

Selama pandemi, ada sejumlah perusahaan yang merugi dan terpaksa ditutup. Dengan adanya aturan tersebut, ia menilai pengusaha semakin mudah menutup usahanya.

Oleh karena itu, ia berharap pengusaha dapat mengutamakan dialog dengan pekerja/buruh. Dengan demikian, ada solusi yang bisa memuaskan kedua belah pihak.

Apalagi menurutnya perselisihan hubungan industrial bisa terjadi bila pengusaha mempunyai keinginan yang lebih kuat daripada pekerja/buruh. "Kalau pengusaha mengacu ketentuan ini secara kaku, ya agak susah. Ini kondisi sulit," katanya.

Di sisi lain, KSPSI juga mengkaji kemungkinan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, konfederasi masih mempelajari dampak kerugian yang diderita secara nyata.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement