KSP: RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesuai Arahan Jokowi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginisiasikan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, RUU TPKS sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo.
RUU tersebut akan menjadi payung hukum dalam upaya memberantas kekerasan seksual. Pemerintah pun mendukung langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam proses pembentukan lembaran negara tersebut.
"Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa terhadap kejahatan seksual, pemerintah akan sangat tegas bahkan tidak ragu untuk menerapkan hukuman maksimum," kata Jaleswari dalam keterangan tertulis, Senin (22/11).
KSP sudah membentuk Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS yang diketuai Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Hiariej. Sementara, anggota Gugus Tugas berasal dari lintas kementerian/lembaga.
Gugus Tugas juga telah intensif berkoordinasi dengan unsur-unsur Baleg. "Ini dalam upaya percepatan pembentukan RUU tersebut," ujar Jaleswari.
Sebelumnya, Baleg DPR mengusulkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun, beleid itu tidak selesai pada periode 2014-2019 lantaran perbedaan pendapat pada parlemen. Pada September ini, RUU PKS diubah nama menjadi RUU TPKS.
Mengutip dari laman Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pembahasan RUU TPKS tersebut merupakan langkah maju. "Kemajuan langkah ini diharapkan dapat segera menuju tahapan selanjutnya, yaitu penetapan RUU tentang kekerasan seksual," demikian tertulis.
Selain kemajuan dari aspek proses, Komnas Perempuan mencatat kemajuan substantif maupun kebutuhan penyempurnaan draf RUU tersebut. Draf disusun dalam sistematika UU pidana dan menegaskan tindak pidana kekerasan seksual harus dijatuhi dengan ancaman pidana karena melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan penderitaan pada korban.
Kemudian, rumusan judul RUU TPKS menunjukkan keselarasan dengan sistematika UU pidana khusus internal. Pemilihan judul itu sekaligus menegaskan kekerasan seksual merupakan tindak pidana.
Selanjutnya, RUU dinilai mengadopsi pemidanaan double track system, yaitu hakim dalam menjatuhkan putusan dapat menjatuhkan dua jenis sanksi sekaligus, yaitu jenis sanksi pidana (pokok dan tambahan) dan tindakan berupa rehabilitasi.
"Sesuai dengan sistem pemidanaan dalam RKUHP dan juga mendorong perubahan cara pandang pelaku kekerasan seksual," demikian tertulis.