Cina Laporkan Satu Kasus Varian Omicron, Penularan Makin Luas
Varian Omicron terus menyebar dan ditemukan di lebih dari 60 negara. Terbaru, Cina melaporkan satu kasus ditemukan di Tianjin, bagian utara negara tersebut.
Dikutip dari Global Times, kasus ditemukan dari warga Polandia yang tiba di Tianjin dari Warsawa. Mereka awalnya mendeteksi kasus pada Kamis (9/12) dan melakukan pemeriksaan pada sampel pernapasan pasien tersebut.
Saat masuk Cina, pasien tersebut tidak menunjukkan gejala, namun dinyatakan positif dalam tes asam nukleat. Saat ini ia telah dirujuk ke rumah sakit dan menjalani perawatan tertutup.
Sedangkan otoritas Kota Tianjin mengingatkan masyarakat menjaga kepatuhan protokol kesehatan. Selain itu anak berusia 3 sampai 11 tahun serta lansia berusia 60 tahun ke atas perlu segera menjalani vaksinasi.
Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan bahwa satu orang meninggal dunia setelah terkena varian Omicron. Inggris juga menyatakan varian ini mampu menembus kekebalan yang dibentuk dua dosis vaksin Covid-19.
Namun Johnson tidak memberikan rincian tentang kematian selain orang yang telah didiagnosis di rumah sakit. Tidak ada informasi apakah pasien yang meninggal telah divaksinasi atau memiliki penyakit penyerta lainnya.
“Setidaknya satu pasien kini telah dipastikan meninggal dengan Omicron. Jadi saya pikir gagasan bahwa ini adalah versi virus yang lebih ringan, saya pikir itu adalah sesuatu yang perlu kita singkirkan,” ujar Johnson kepada wartawan di pusat vaksinasi Inggris pada Minggu (13/12), seperti dikutip dari Reuters.
Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, penyebaran Omicron itu menimbulkan risiko global yang sangat tinggi. Ini lantaran beberapa bukti menunjukkan varian tersebut dapat menghindari perlindungan vaksin.
Omicron pertama kali terdeteksi pada bulan lalu di Afrika Selatan dan Hong Kong. WHO mengatakan, mutasinya dapat menyebabkan penularan yang lebih tinggi dan lebih banyak kasus penyakit Covid-19.
"Risiko keseluruhan terkait dengan varian Omicron tetap sangat tinggi karena sejumlah alasan," kata WHO, mengulangi penilaian pertamanya pada 29 November, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (14/12).