Pertamina dan ExxonMobil Mulai Tahap Awal Proyek Pengurangan Karbon
PT Pertamina (Persero) saat ini tengah mengembangkan teknologi yang mampu mereduksi emisi karbon. Salah satunya adalah Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) yang dikembangkan bersama ExxonMobil di lapangan migasnya.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan sejak penandatanganan kerja sama ddengan ExxonMobil pada November 2021 lalu, pihaknya terus melakukan langkah sesuai tahapan yang telah direncanakan.
"Pertamina berkomitmen penuh untuk mempercepat transisi energi dengan 8 inisiatif strategis, salah satunya dengan pengembangan Carbon Capture & Storage Utilization," ujar Fajriyah kepada Katadata.co.id, Senin (21/2).
Untuk tahapan saat ini, Pertamina tengah melakukan pemetaan dan evaluasi potensi reservoir bersama ExxonMobil untuk digunakan sebagai tempat penyimpanan CO2. Hasil pemetaan tersebut nantinya akan dilanjutkan dengan kesepakatan bersamat pengembangan CO2 injection di lapangan yang terpilih. "Serta studi potensi pengembangan skema hubs and cluster," kata dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto sebelumnya berharap agar Pertamina dan ExxonMobil dapat segera mempercepat pengembangan prototipe CCS/CCUS di Indonesia. Apalagi hal ini telah dilakukan Australia dan diharapkan Indonesia dapat cepat meniru dengan harga yang lebih terjangkau.
"Di mana untuk tipe di Australia harganya masih tinggi yaitu US$ 100 per ton. Namun dengan teknologi baru yaitu pencampuran hidrogen dan ammonia, maka biaya CCS/CCUS bisa ditekan ke US$ 25 per ton,” kata Airlangga.
Dengan pengembangan teknologi semacam ini, Airlangga optimistis roadmap transisi energi dapat tercapai dalam waktu singkat. Presiden Joko Widodo juga telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Pengesahan ini disampaikan oleh Presiden dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, UK.
Dukungan pengembangan energi rendah karbon juga datang dari kalangan industri. Menurutnya, kalangan industri sudah mulai mempertanyakan basis energi yang digunakan untuk produk yang dihasilkan.
“Industri sekarang juga sudah mulai mempertanyakan basis energi yang digunakan. Mereka berharap bahwa energi yang dijadikan input berbasis energi hijau,” kata Airlangga.
Kementerian ESDM juga telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral pada 2060. Strategi utamanya adalah pengembangan EBT secara masif yang meliputi solar PV, angin, biomass, panas bumi, hidro, energi laut, nuklir, hidrogen, battery energy storage systems.
Selain itu mereka akan mengurangi pemanfaatan energi fosil. Beberapa langkahnya antara lain tidak menambah pembangkit fosil baru kecuali yang telah berkontrak atau sedang konstruksi, retirement PLTU secara bertahap, konversi PLTD ke pembangkit EBT dan penerapan teknologi CCS/CCUS. Strategi lainnya adalah pengembangan interkoneksi transmisi dan penerapan smart grid di pulau-pulau besar.
Sedangkan dari sisi permintaan, strateginya adalah penerapan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemakaian kompor induksi, pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga dan penerapan manajemen energi serta Standard Kinerja Energi Minimum (SKEM).