MK Tolak Uji Materi UU Narkotika, DPR Tetap Berupaya Kaji Ganja Medis
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menolak gugatan uji materil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Gugatan tersebut berkaitan dengan permintaan diperbolehkannya narkotika golongan I, termasuk ganja untuk kepentingan medis.
Meski MK telah menolak putusan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tetap berniat merevisi Undang-Undang Narkotika. Dewan juga meminta agar pemerintah bersama-sama DPR untuk menindaklanjuti pertimbangan yang termaktub di dalam putusan MK.
“MK memberikan penekanan pada kata ‘segera’ dalam putusannya dengan memberikan huruf tebal menunjukkan urgensi terhadap hasil pengkajian ini,” kata Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id pada Kamis (21/7).
Tindak lanjut bisa merujuk kajian berbagai lembaga internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lewat Komite Ahli Ketergantungan Narkoba (ECDC). ECDC pada 2019 telah merekomendasikan hasil kajiannya kepada the Komisi Narkotika (CND) yang dinaungi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC).
Pada waktu itu, CND merekomendasikan cannabis atau ganja sebagai narkotika yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan. Rekomendasi tersebut menurut dapat dilakukan dengan mengubah Convention Drugs Tahun 1961 yang telah disetujui melalui voting.
“Dengan demikian, kajian dapat dilakukan dengan segera sesuai penegasan putusan MK,” kata Taufik.
Selain itu, pembahasan materi juga dapat dilakukan dengan menjadikan putusan MK sebagai salah satu pertimbangan hukum. Menurutnya, pelarangan, pengendalian, dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya di dalam undang-undang.
Adapun ketentuan teknis lainnya, dapat diatur dalam berbagai aturan turunan sesuai dengan perkembangan dan inovasi ilmu pengetahuan. Ini dapat dilakukan sehingga pemerintah bisa mengontrol ketat beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi.
"Sembari dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula,” kata Taufik.
Sebelumnya dalam Putusan Perkara Nomor 106/PUUXVIII/2020, MK berkesimpulan bahwa pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Ini lantaran pemanfaatan jenis narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/ atau terapi sama halnya dengan keinginan untuk mengubah pemanfaatan secara imperatif.
“Hanya diperbolehkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan,” kata Hakim Konstitusi, Suhartoyo saat membacakan putusan.
Hakim konstitusi juga mengatakan belum terdapat bukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah terkait penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanana kesehatan.
Dengan belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif tersebut, maka Hakim Konstitusi sulit untuk mempertimbangkan dan membenarkan keinginan para pemohon. “Sulit diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis,” kata Suhartoyo.
Gugatan ini diajukan oleh enam pemohon yang tiga di antaranya merupakan ibu kandung dari anak-anak penderita Celebral Palsy, yaitu Santi Warastuti, Dwi Pratiwi, dan Nafiah Murhayanti. Adapun tiga pemohon lainnya, yaitu Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Melalui kuasa hukum, keenamnya bersama-sama menggugat Pasal 6 Ayat 1 Huruf A dan Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Di dalam bagian yang digugat, termaktub bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehataan.