Profit Batu Bara Jadi Tantangan RI Kejar Target Nol Emisi pada 2060
Realisasi proyek nol emisi 2060 di Indonesia dinilai masih menemui sejumlah tantangan. Salah satunya besarnya pendanaan dan perolehan laba dari penjualan energi fosil batu bara.
Alotnya transisi energi di Indonesia juga terjadi karena kondisi geopolitik dunia saat ini. Konflik antara Rusia dan Ukraina juga mendorong pemanfaatan energi fosil yang kian masif.
"Indonesia juga menikmati keuntungan tak terduga atau windfall dari batubara, karena harga energi global yang lebih tinggi baru-baru ini," kata Ekonom senior sekaligus mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan di acara Indonesia Sketch: Transitioning Towards A Sustainable And Inclusive Energy Future pada Kamis (29/9).
Komitmen nol emisi banyak negara diuji ketika mereka wajib menjaga ketahanan pangan dan energi nasional. Di Indonesia, krisis pandemi membuat ruang fiskal pemerintah juga terbatas, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Ketahanan pangan adalah isu lain. Tapi ketika ditanyakan kepada pembuat kebijakan 'mana yang paling penting untukmu, ketahanan pangan atau nol emisi. Saya kira kita akan bicara soal ketahanan pangan," sambungnya.
Adapun konsumsi energi fosil pada sumber listrik global mengalami peningkatan pada 2021. Di tahun itu, kontribusi batu bara tetap dominan. Kontribusi batu bara untuk pembangkit listrik global turun dari 41% pada tahun 2013 menjadi 35% pada tahun 2020, namun meningkat menjadi 36% pada tahun 2021.
Kontribusi batu bara dunia disumbang paling banyak dari negara Asia seperti Cina, India dan Indonesia. Meredanya pandemi juga berperan serta pada peningkatan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.
Kontribusi batu bara di Indonesia pun meningkat dari 40% menjadi 61%. Penambahan ini didorong karena infrastruktur energi di Indonesia lebih condong ke bahan bakar fosil, terutama batu bara.
Menurut Fauzi, peran serta negara-negara maju sangat diperlukan untuk mendorong transisi di Indonesia. Satu diantaranya yakni menyalurkan pendanaan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batu bara. Fauzi memperkirakan biaya untuk mencapai Net Zero Emission atau nol emisi pada tahun 2060 diperkirakan melebihi US$ 1 triliun.
Sedangkan negara maju dapat mendanai dan mempromosikan ekspansi energi terbarukan secara lebih efisien. "Kontraknya PLTU ini masih 20 sampai 30 tahun tiba-tiba diputus. Ini mahal, uangnya dari mana," ujar Fauzi.
Selain itu, komitmen pemerintah dalam upaya nol emisi diharap bisa terus berkelanjutan. Pemimpin RI berikutnya harus melanjutkan kewajiban yang ditingglkan oleh pemerintahan sebelumnya. "Tanda tangan kesepakatan itu mudah, tapi komitmen untuk melakukannya itu hal lain. Karena banyak kepentingan yang berbeda," katanya.