Pro dan Kontra Penghapusan Alokasi Wajib Anggaran di RUU Kesehatan

Andi M. Arief
22 Juni 2023, 16:31
ruu kesehatan, mandatory spending, dpr, menkes, anggaran
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kedua kiri) didampingi jajarannya menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/3/2023).

Revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memicu perbedaan pendapat. Poin terbaru yang menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU tersebut adalah alokasi wajib atau mandatory spending bidang kesehatan.

Pasal 171 UU Kesehatan mengatur pemerintah pusat wajib mengalokasikan anggaran kesehatan setidaknya 5 persen dari total anggaran di luar gaji pegawai. Sementara itu, anggaran yang wajib disisihkan pemerintah daerah adalah 10 persen di luar gaji pegawai.

Meski demikian, poin mandatory spending ini hilang dari draf RUU Kesehatan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan perlunya mengubah fokus dari penganggaran ke program agar dana yang digunakan tepat sasaran. 

Sedangkan, dua fraksi yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat menolak penghapusan mandatory spending. Mereka beralasan penganggaran tersebut adalah amanat konstitusi.

"Tidak dapat dibantah, harus kita wujudkan," kata Anggota Komisi IX Fraksi PKS Netty Prasetiyani dalam Sidang Paripurna, Selasa (20/6).

Berikut sejumlah pandangan pro dan kontra atas penghapusan alokasi wajib dalam RUU Kesehatan:

Pro Penghapusan Mandatory Spending

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penghapusan mandatory spending RUU Kesehatan telah melalui diskusi panjang. Namun Budi menekankan penghapusan ini tidak akan menghilangkan jaminan kesehatan oleh negara ke masyarakat.

Budi menilai pengaturan pembuatan program kesehatan lebih penting dibandingkan mematok kegiatan berdasarkan mandatory spending. Pasalnya, implementasi penganggaran wajib yang diatur UU Kesehatan tidak efektif dan cenderung tidak dibelanjakan untuk kebutuhan kesehatan.

"Kalau programnya tidak dibuat, tidak dipersiapkan rencana belanjanya, akibatnya dana itu disalurkan untuk hal-hal yang tidak produktif," kata Budi di Istana Wakil Presiden, Selasa (20/6).

Budi bahkan membuka kemungkinan anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan lebih besar dari 5 persen APBN. Namun syaratnya, dana tersebut digunakan untuk program yang jelas. 

Oleh karena itu, salah satu inovasi dalam Draf RUU Kesehatan adalah definisi Rencana Induk Kesehatan atau RIK. Rencana ini bisa mengintegrasikan seluruh sumber keuangan kesehatan, seperti APBN dan BPJS Kesehatan.

Penghapusan mandatory spending ini merupakan usulan pemerintah. usulan tersebut disetujui setelah melalui voting di tingkat Panitia Kerja (Panja) Komisi IX. 

"Usulan pemerintah lebih diterima anggota Panja," kata Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh pada konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (8/6) dikutip dari Antara

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut merupakan salah seorang penolak dihapuskannya mandatory spending. Namun ia kalah suara sehingga poin alokasi wajib tetap dihapus.

Kontra Penghapusan Mandatory Spending

Fraksi PKS dan Demokrat menolak mandatory spending dihapus dalam RUU Kesehatan. PKS bahkan menyampaikan penolakan tersebut dalam Rapat Paripurna, Selasa (20/6).

Anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani meminta pemerintah menjadikan alokasi anggaran wajib untuk kesehatan menjadi ruh RUU Kesehatan. Menurutnya, alokasi ini diperlukan sebagai jaminan dan kepastian bagi masyarakat bahwa negara hadir untuk menjamin kesehatan nasional.

"Melalui sidang terhormat ini, saya ingin mengingatkan bahwa kesehatan adalah amanat konstitusi yang tidak dapat dibantah, harus kita wujudkan," kata Netty dalam Sidang Paripurna, Selasa (20/6).

Anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham mengatakan penghapusan alokasi wajib membuat RUU Kesehatan terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis.

Sedangkan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Muhammad Adib Khumaidi mengatakan mandatory spending penting untuk menangani pandemi di tingkat daerah. Menurutnya, peran pemda menjadi penting dalam penanganan pandemi.

Dalam kasus Covid-19, Adib memprediksi kasus akan bertambah setelah memasuki masa endemi saat ini. Oleh karena itu, Adib menyatakan penanganan pandemi bukan tanggung jawab pemerintah pusat saja.

"Pemda harus mengupayakan akses untuk masyarakat terjaga, seperti pelayanan kesehatan, obat, dan vaksin," kata Adib dalam konferensi pers pada Kamis (22/6).

Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) malah meminta alokasi wajib kesehatan dinaikkan hingga 20 persen. Mereka mengatakan tambahan rasio diperlukan untuk menanggulangi masalah kesehatan anak, khususnya yang berkebutuhan khusus. 

"Kendala penanganan kesehatan masih jauh. Butuh mandatory spending bagi keuangan afirmatif," kata Komisioner KPAI Kawiyan.

Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...