Semua Negara Berlomba Berinvestasi di Sektor Energi Terbarukan
Implementasi penggunaan energi baru dan terbarukan di dalam negeri, tidaklah mudah dan penuh tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah membutuhkan pendanaan besar.
Seluruh dunia saat ini tengah berlomba dan fokus pada tren energi bersih. Persaingan pendanaan untuk investasi hijau secara global pun kian ketat dan kompetitif.
Untuk itu, pemerintah terus berupaya menciptakan kebijakan yang mampu menarik iklim investasi. "Kompetisi ini yang harus kami antisipasi agar investor tetap tertarik masuk ke Indonesia," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam acara Katadata Future Energy: Tech and Innovation 2021, Senin (8/3).
Pemerintah juga tengah menyiasati agar pembangkit energi terbarukan dapat masuk dalam mega proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Namun, pelaksanaannya masih menunggu rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL periode 2021-2030 yang masih digodok pemerintah.
Saat ini Kementerian ESDM sedang menggodok sejumlah kebijakan demi mewujudkan porsi bauran energi bersih sebesar 50 persen pada 2050. Berikut petikan diskusi yang dikawal Pemimpin Redaksi Katadata.co.id Yura Syahrul dan Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri:
Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim sudah berjalan lima tahun, bagaimana persiapan transisi energi Indonesia untuk mendukung implementasi perjanjian tersebut ?
Kami telah meratifikasi komitmen Paris Agreement dan untuk mendukung komitmen itu terbit Undang-undang Nomor 16 tahun 2016. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Targetnya itu mencapai 29 persen pada 2030 dan akan meningkat kalau kita mendapatkan bantuan dari kalangan internasional.
Apa target dari Pemerintah terkait transisi energi ini ?
Targetnya kita semua bisa menjaga kenaikan temperatur iklim tidak lebih dari dua derajat celcius dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celsius. Kenaikan temperatur itu adalah turunan dari pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca. Gas itulah yang memang menjadi target penurunan sekurangnya 834 juta ton karbondioksida (CO2) di tahun 2030.
Bagaimana peran sektor energi dalam rangka penurunan tersebut ?
Sektor energi itu diharapkan dapat menurunkan emisi sebesar 314 juta ton CO2 dengan kemampuan sendiri. Kalau nanti kita mendapatkan support internasional, bisa mencapai penurunan emisi 400 juta ton CO2. Untuk itu kami harus melakukan langkah - langkah yang tepat agar capaian penurunan emisi ini dapat dicapai 2030.
Kita lihat bahwa sektor energi saat ini kontribusinya hampir 450 juta ton dan sepuluh tahun lagi akan meningkat hampir tiga kali lipat, kalau tidak diantisipasi. Untuk itulah transisi energi dari yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tinggi secara berangsur dialihkan ke energi yang bersih dan terbarukan. Kita lihat yang banyak menghasilkan emisi adalah energi berbasis fosil, jadi kita harus cari sumber energi non fosil yang terbarukan.
Apakah pandemi menjadi tantangan, ataukah momentum untuk akselerasi transisi energi ?
Kami sudah melaksanakan program tambahan listrik 35 ribu megawatt. Lambatnya penyerapan energi dan ekonomi karena pandemi ini menjadi tantangan kita. Ini adalah suatu bottleneck dan kami menyiasati supaya energi baru itu bisa tetap masuk karena komitmen kita untuk bisa mencapai target yang sudah dijalankan.
Untuk itu dalam rencana umum pengadaan tenaga listrik 10 tahun ke depan, kami bahas bagaimana energi bersih terbarukan ini bisa masuk. Memang memerlukan upaya bersama bahwa dunia sudah bergerak menuju ke energi bersih terbarukan. Eropa juga sudah mengumumkan tahun 2040 akan bebas dari pemakaian energi fosil, Jepang 2050, kemudian Tiongkok 2060. Mereka betul - betul merasa bisa mengandalkan energi terbarukan. Strategi ini yang harus disusun agar mengarah kesana.
Berapa pasokan listrik yang bisa dipenuhi dari energi terbarukan ini ?
Kami sedang menghitung kembali demand listrik sampai tahun 2050. Waktu kami menetapkan 35 Gigawatt, target pertumbuhan ekonomi kita tinggi, tapi dengan situasi yang sekarang ini memang harus kalkulasi kembali untuk menyesuaikan rencana pertumbuhannya.
Tahun 2050 itu target energi terbarukan porsinya harus 31 persen. Saat ini pasokan listrik kita itu baru mencapai kurang lebih 70 GW. Kalau kita proyeksikan 30 tahun ke depan kemungkinannya ada di level 200 GW. Kalau asumsinya pertumbuhan ekonomi lima persen per tahun berarti kan kontribusi dari energi terbarukan itu adalah 60 GW. Tapi saya yakin kita akan lebih besar daripada ini.
Secara umum, apa tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia ?
Kita memiliki sumber energi terbarukan yang banyak cukup besar antara lain tenaga energi surya, air, geothermal, angin, hingga biomassa. Tapi lokasinya ini umumnya pada daerah yang jauh. Untuk itu diperlukan adanya dukungan sarana seperti jaringan yang harus disiapkan. Ini adalah suatu keharusan yang harus kami lakukan lima tahun ke depan.
Apakah faktor pendanaan juga menjadi masalah ?
Karena semua negara berlomba berinvestasi di sektor energi terbarukan, maka nanti yang menjadi kompetisi adalah masalah pendanaan. Ini karena untuk merealisasikan proyek energi baru terbarukan berskala besar tentu saja membutuhkan dana yang tinggi. Kompetisi ini yang harus kita antisipasi agar investor itu tetap masuk ke Indonesia.
Berapa potensi energi terbarukan yang bisa dikembangkan ?
Saya bacakan satu-satu: arus laut ini potensinya kurang lebih 18 ribu MW, panas bumi 24 ribu MW, bioenergi 32 ribu MW, angin 60 ribu MW, air 75 ribu MW, kemudian surya di atas 200 ribu MW. Jadi sangat besar. Jadi kalau kita bicara 100 tahun lagi, masih bisa diandalkan karena ini tidak habis dan teknologi akan terus berkembang sehingga sumber energi ini akan kompetitif. Itu yang kami antisipasi dan harus ada industrinya.
Di mana saja potensi energi terbarukan tersebut ?
Di Sumatera ada beberapa sumber tenaga matahari, di Jawa ada berapa sumber air dan geothermal. Beberapa potensi sumber tenaga angin sudah dipetakan dan didetailkan. Kami sudah sampai pada kesimpulan bahwa potensi kita mencapai 400 gigawatt dan 50 persennya itu adalah sumber dari matahari. Kami memetakan daerah timur dan selatan Indonesia yang tingkat radiasi mataharinya tinggi seperti Nusa Tenggara Timur. Kami juga akan mengoptimalkan sumber dari daerah tersebut untuk memasok Jawa dan akan membutuhkan investasi yang besar karena transmisinya juga agak panjang.