Tren pembatasan merek di berbagai negara, termasuk Indonesia, memunculkan kekhawatiran di lingkungan pelaku usaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kebijakan semacam itu berdampak negatif terhadap persaingan usaha.
Sekretaris Umum Apindo Eddy Hussy mengatakan pembatasan merek akan menimbulkan berbagai risiko terhadap bisnis. Adapun kebijakan pembatasan merek bisa dengan mengurangi daya tarik pada kemasan produk, hingga pembatasan yang lebih jauh yakni dalam iklan dan promosi.
“(Pembatasan merek) akan menimbulkan risiko lain, seperti pemboncengan reputasi, pemalsuan, produk ilegal yang ujung-ujungnya akan merusak persaingan usaha," ujar di Jakarta, Rabu (2/10).
(Baca: Hapus Merek, PB Djarum Ubah Nama Audisi Bulu Tangkis)
Ia menjelaskan, merek merupakan kreasi produsen yang menggambarkan identitas produk. Kemasan itu salah satu faktor penting untuk mendukung keputusan konsumen membeli sebuah produk. Maka itu, pembatasan merek dirasa sangat memberatkan.
Ia khawatir kebijakan semacam ini akan meluas ke berbagai produk konsumsi. Ke depan, misalnya, dalam kemasan produk akan ada kewajiban pencantuman peringatan bahaya kesehatan, kerusakan alam atau bahkan perubahan iklim akibat mengonsumsi suatu produk.
Pembatasan merek semacam ini dinilainya berpotensi menyebabkan monopoli dagang oleh merek-merek yang sudah lebih dulu melekat di masyarakat. "Ini sebisa mungkin kita hindari," kata dia.
Kepala Subdirektorat Transparasi Kesesuaian Peraturan dan Falisitasi Kementerian Perdagangan Danang Prasta mengatakan pembatasan merek di negara tujuan ekspor perlu dilihat secara proporsional. Dalam perjanjian World Trade Organization (WTO), setiap negara berhak menerbitkan regulasi selama tidak bertujuan menghambat perdagangan.
(Baca: Pengusaha Was-was Ada Oknum Ambil Untung dari Aturan Sertifikasi Halal)
"Hal yang harus dicermati adalah jangan sampai regulasi menghambat perdagangan. Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaan WTO untuk memonitor regulasi tersebut dan mengamankan hak-hak Indonesia di negara tujuan ekspor," ujarnya.
Adapun di dalam negeri, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengatakan pembatasan merek sudah dilakukan untuk produk rokok. Melalui PP 109/2012 pemerintah mewajibkan produsen rokok untuk mencantumkan peringatan kesehatan bergambar seram sebanyak 40% dari total tampilan kemasan.
Ia berharap kewajiban pencantuman gambar seram tidak semakin diperbesar. Apalagi, menurut dia, kebijakan tersebut belum tentu menyebabkan jumlah perokok turun. Namun, bisa menyebabkan semakin banyaknya rokok ilegal. "Jangan sampai diperluas menjadi 90%, bahkan merencanakan kemasan polos,” kata dia.