Ketua Alumni SMA Jakarta Bersatu (ASJB) Nanda Abraham berharap pemerintah membenahi proses birokrasi yang panjang untuk menggenjot kinerja dunia usaha. Padahal, Presiden Joko Widodo di periode pertamanya sudah berkali-kali menyatakan untuk membuat sistem yang efektif dan efisien serta lebih cepat. Sayangnya sampai saat ini belum berjalan maksimal.
Menurut Nanda, seluruh kebijakan yang dikeluarkan Jokowi sebenarnya sudah bagus, tetapi ada kebuntuan ditingkat penyelesaian akhir. Sehingga perlu dicarikan solusi antara kepentingan investasi serta dunia usaha dan kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah.
“Saya kira perlu dicari orang-orang yang membantu beliau dengan lebih berani untuk mengeksekusi kebijakan tersebut,” kata Nanda kepada Antara, Senin (8/7/2019). “Kalau ditanyakan kenapa ada yang tidak berani, karena ada sistem monitoring yang begitu ketat yang membuat orang menjadi takut.”
Seperti diketahui, ASJB merupakan kelompok yang mendeklarasikan dukungan saat Pilpres 2019 kepada pasangan Jokowi-Ma’aruf Amin pada 10 Februari 2019 lalu. Deklarasi ketika itu dihadiri Jokowi, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Ketua TKN Eric Thohir, dan sejumlah menteri di Kabinet Kerja.
(Baca: Kadin Minta Tugas Kemenko Maritim Tak Tumpang-Tindih di Kabinet Baru)
Ada sejumlah regulasi bagus, kata Nanda, namun gagal terlaksana. Misalnya, Peraturan Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengelolaan Sampah Menjadi Energy Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres yang ditujukan untuk 12 kota itu sampai saat ini belum ada yang jalan..
“Ada faktor apa yang menyebabkan kebuntuan itu. Ternyata, ada satu sistem di mana investasi akan masuk jika ada kepastian hukum serta keamanan pengembalian modal yang terjamin,” ujar Nanda.
Menurut dia, saat ini belum ada kepastian tentang dikeluarkannya typing fee atau angka pembayaran kepada investor. Sebagai contoh teknis, bagaimana investor mengelola sampah dan jasa pengelolaan sampah itu mendapat pembayaran.
Bagi Nanda, kegagalan kebijakan itu bukan di Jokowi, tetapi ditingkat eksekutif yang tidak berhasil menyelesaikannya. “Belum ada kebijakan yang bisa menguatkan kepala daerah untuk dapat mengeluarkan rumusannya,” katanya.
Di tempat terpisah, hal senada disampaikan Bambang Brodjonegoro. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional ini, ada dua faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak bisa melejit hingga 7 % seperti yang dijanjikan Jokowi lima tahun lalu ketika berkampanye dalam Pilpres 2014.
“Untuk melihat apa penyebab lambatnya pertumbuhan tersebut kami melakukan diagnosa pertumbuhan. Ternyata faktor pertama dalam ekonomi Indonesia yang menghambat pertumbuhan adalah masalah regulasi dan institusi,” kata Bambang di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).
(Baca: DPR Sahkan RAPBN 2020, Pertumbuhan Ekonomi Dipatok 5,2%-5,5%)
Menurut dia, birokrasi pemerintahan dianggap belum cukup handal untuk bisa memudahkan investasi maupun melancarkan sektor perdagangan. Sedangkan di regulasi, hambatan utamanya adalah banyak aturan atau implementasinya berbelit.
Dia mencontohkan, pengurusan administrasi ekspor dan kepabeanan di Indonesia masih memakan waktu rata-rata 4,5 hari yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. “Singapura cuma setengah hari, maupun Vietnam, Thailand yang sekitar 2 hari,” ujarnya.
Ketika akan berinvestasi, pengusaha pun terkendala dalam hal kemudahan (ease of doing business). Misalkan, untuk memulai investasi diperlukan rata-rata sekitar 19 hari. Hal ini masih jauh lebih lama dari negara-negara lainnya. Tak hanya itu, biaya untuk mulai investasi lebih tinggi dari tetangga Indonesia.