Pelemahan harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) telah menekan kinerja laba sejumlah emiten perkebunan, tak terkecuali bagi perusahaan di bawah grup korporasi besar milik PT Astra International dan Grup Salim. Laba bersih emiten kebun yang berada dibawah kendali kedua grup perusahaan ini turun hingga 70% sepanjang Januari-September 2018.
PT Astra Agro Lestari, anak usaha Grup Astra di segmen agribisnis dengan porsi kepemilikan saham sebesar 79% melaporkan penurunan laba bersih sebesar 18% menjadi Rp 1,1 triliun hingga September 2018. Penurunan laba bersih perseroan terutama disebabkan oleh melemahnya harga rata-rata minyak kelapa sawit sebesar 8% menjadi Rp7.639/kg, meski volume penjualan minyak kelapa sawit dan produk turunan AALI naik sebesar 23% menjadi 1,6 juta ton.
(Baca: Harga CPO Rontok, Pendapatan Sawit Sumbermas Diestimasi Turun 5%)
Presiden Direktur Astra International Prijono Sugiarto menyatakan terus mewaspadai pelemahan harga minyak kelapa sawit hingga akhir tahun. "Kami berharap Grup mencapai kinerja tahunan yang baik, meski persaingan di pasar mobil serta pelemahan harga minyak sawit masih tetap diwaspadai," katanya dalam keterangan resmi.
Meski bisnis berbasis komoditas ini memberi tekanan, secara keseluruhan Astra International masih mampu mencatat laba bersih sebesar Rp 17 triliun atau meningkat 21% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Lini bisnis otomotif masih menjadi penyumbang terbesar laba bersih Grup Astra sebesar Rp 7,01 triliun diikuti bisnis alat berat, pertambangan konstruksi dan energi sebesar Rp 5,4 triliun. Kemudian jasa keuangan Rp 3,4 triliun dan agribisnis Rp 896 triliun, infrastruktur dan logistik Rp 112 miliar, teknologi informasi Rp 106 miloiar dan bisnis properti Rp 66 miliar.
Tak hanya AALI, tekanan pelemahan harga komoditas juga mempengaruhi kinerja laba PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP). Perusahaan yang 59,48% saham dimiliki Salim Ivomas, yang juga anak usaha Indofood ini pada sembilan bulan pertama 2018 mencatat penurunan laba bersih 39,8% menjadi Rp 344,7 miliar hingga kuartal III 2018.
Lonsum mencatat penurunan penjualan dan laba seiring penurunan harga rata-rata produk sawit (CPO & Palm Kernel) dan karet serta penurunan volume penjualan. Volume penjualan CPO perseroan hingga September 2018 turun sebesar 8,6% menjadi 290 ribu ton dan palm kernel 8,9% akibat perbedaan waktu dalam realisasi persediaan CPO.
Sedangkan Salim Ivomas membukukan penurunan laba bersih paling dalam dibandingkan dengan dua emiten sawit sebelumnya. Laba bersih Salim Ivomas hingga kuartal III 2018 merosot hingga 78% menjadi Rp 84 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 378 miliar.
(Baca: Permintaan Global Belum Membaik, Gapki Estimasi Ekspor CPO Turun 5%)
Penurunan laba bersih perusahaan diakibatkan oleh turunnya penjualan di hampir seluruh lini usaha perkebunan perseroan, seperti CPO turun 12%, palm kernel 14%, gula 22% serta karet 15%. Hanya lini usaha minyak & lemak nabati yang mencatat kenaikan kontribusi penjualan dan berkontribusi positif pada kinerja Grup SIMP sembilan bulan 2018.
Direktur Utama Indofood, Anthoni Salim pun menyebut harga sawit masih menjadi tantangan bisnis perseroan. "Secara umum, harga CPO tetap menjadi tantangan bagi kinerja kami. Perusahaaan masih bisa mencatat pertumbuhan penjualan hingga sembilan bulan ini dengan dukungan kinerja grup CBP," katanya.
Sepanjang Januari-September 2018, Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) membukukan laba bersih sebesar 2,82 triliun, turun 13,6% dari periode yang sama tahun sebelumnya diikuti penurunan margin laba bersih menjadi 5,2% dari sebelumnya 6,1%.
INDF saat ini merupakan induk usaha dari empat kelompok usaha startegis yaitu Produk Konsumen Bermerek (CBP), Bogasari yang bergerak di bidang usaha tepung, agribisnis dan distribusi.
Pelemahan harga sawit terus membayangi pertumbuhan bisnis industri sawit. Menurunnya permintaan dunia diprediksi menjadi salah satu penyebab pelemahan harga CPO. Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), penurunan permintaan dunia menyebabkan harga CPO tidak pernah menembus angka US$ 700 per ton. Pada semester I 2018, rata-rata harga sawit berada pada kisaran US$ 605 hingga US$ 695 per ton.
Seiring dengan melemahnya permintaan, Gapki juga memperkirakan ekspor komoditas ini akan turun 5% sepanjang 2018, mengikuti penurunan ekspor sawit semester I 2018 sebesar 6% menjadi 14,16 juta ton. “Kami melihat ada pengurangan sebesar 5% kecuali ada peristiwa katastrofe global sehingga permintaan sawit bisa diperbaiki dengan cepat,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gapki Togar Sitanggang di Jakarta, Rabu (8/8).