Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan perkembangan layanan akomodasi berbasis digital seperti Airbnb menggerus okupansi hotel kelas bawah. Pengusaha pun meminta pemerintah untuk menerbitkan regulasi untuk layanan digital ini.
“Peningkatannya sudah eksponensial, bahaya bagi industri kami,” kata Hariyadi di Jakarta, Kamis (23/11).
Hariyadi mengatakan, digitalisasi memang memicu pemerataan ekonomi kepada masyarakat. Contohnya dalam sektor transportasi yang melahirkan Go-Jek, Grab, dan Uber.
Ia menyebut sektor akomodasi digital juga muncul banyak macam platform, namun yang paling dominan adalah Airbnb. Hanya, kemunculannya yang tanpa regulasi membuat PHRI khawatir.
“Hotel itu waktu berdiri harus pakai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), regulasi dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, selain itu ada juga pajak,” ujarnya Hariyadi.
(Baca juga: Google: Ekonomi Digital Indonesia Capai Rp 1.095 Triliun pada 2025)
Airbnb dapat tumbuh dengan cepat karena menggunakan kapasitas properti yang berlebih dari masyarakat. Misalnya, penggunaan kamar, apartemen, rumah, atau vila yang tidak dapat disewakan melalui aplikasi tersebut.
Menurutnya, sektor transportasi memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun, berbeda dengan sektor akomodasi. “Saya yakin pemain yang diuntungkan adalah kalangan menengah ke atas karena mereka lah pemilik propertinya,” ujar Hariydi.
Namun, PHRI menekankan supaya ada regulasi yang mengikat penyedia jasa akomodasi online asing yang tidak memiliki badan usaha di Indonesia, seperti Airbnb. Sebab, layananan lokal seperti Airy Room dan Reddoorz bisa dikonsolidasi untuk bersama-sama menentukan pelayanan terbaik bagi konsumen.
Selain itu, pengusaha juga mengeluhkan tingginya royalti yang diminta oleh online travel agent asing untuk fasilitas booking hotel. Sementara, pajak dari transaksi tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pihak hotel.
Menurut Hariyadi, royalti yang diminta oleh online travel agent ada yang mencapai 30% dari harga kamar. “Online travel agent biasanya mengambil royalti dan tidak mau bayar pajak,” katanya.
(Baca juga: Tiket.com Targetkan Pertumbuhan Transaksi 100% Tahun Depan)
Meski, Hariyadi mengaku bahwa digitalisasi mendongkrak pertumbuhan reservasi hingga 20%. “Bahkan ada hotel-hotel yang 90% reservasinya lewat online,” tuturnya.
Oleh karena itu, PHRI telah mengirimkan surat secara resmi untuk Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Permintaannya supaya pemerintah mengatur atau kalau perlu memblokir online travel agent asing yang tidak memiliki badan usaha di Indonesia.
Menurutnya, aparat pajak yang menagih Pajak Penghasilan (PPH) 26 ke pengusaha hotel dianggap tidak memikirkan sistem kerja sama yang diteken oleh online travel agent asing. Sementara, online travel agent lokal sudah diajak berbicara mengenai proses bagi hasil yang lebih adil.
Data PHRI mencatat hotel berbintang memiliki 290 ribu kamar, sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ada 285 ribu kamar terdata untuk hotel nonbintang.