PT Modern Internasional Tbk. memberikan alasan bangkrutnya bisnis 7-Eleven yang dijalankan perusahaannya di Indonesia adalah karena kesulitan mencari investor. Seven Eleven Inc. (SEI), sebagai pemilik waralaba, menerapkan persyaratan yang menyulitkan investor untuk masuk dalam bisnis 7-Eleven.
Direktur Keuangan Modern Internasional Donny Susanto menjelaskan persyaratan yang diberikan SEI menyebabkan investor potensial yang telah diusahakan manajemen mengurungkan niat untuk investasi. "Salah satunya, hanya memberikan waktu masa berlaku franchise selama satu tahun bagi investor untuk menyelesaikan masalah yang ada," kata Donny di kantornya, Jakarta, Jumat (14/7).
(Baca: PHK 1300 Karyawan 7-Eleven, Modern Janji Bayar Pesangon)
Pihak Modern Internasional telah mencari investor baru untuk membiayai ongkos operasional gerai 7-Eleven sejak 2015, namun selalu terjadi kegagalan saat perundingan antara SEI dan investor. Menurut Donny, hal ini menjadi salah satu alasan utama penghentian bisnis 7-Eleven.
Nama terakhir yang mencuat adalah PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Donny menjelaskan bahwa pihak Modern Internasional telah menandatangani perjanjian pembelian (purchase agreement) 7-Eleven dengan Charoen dengan nilai mencapai Rp 1 triliun.
Donny menjelaskan kebuntuan terjadi saat Charoen Pokphand berunding dengan SEI. Pihak Modern Internasional juga tidak mengetahui penyebab gagalnya perundingan. "Kami tidak ikut perundingan itu dan tidak tahu apa kendalanya sampai tidak tercapai kesepakatan," kata Donny. (Baca: OJK Minta Modern Jelaskan Penutupan Gerai 7-Eleven)
Kegagalan perundingan dengan para investor berbuntut berakhirnya bisnis 7-Eleven oleh Modern Internasional. Pihak manajemen akhirnya memutuskan untuk menutup semua gerai pada 30 Juni lalu. Padahal, segala upaya untuk mempertahankan bisnis 7-Eleven telah dilakukan. Termasuk menggunakan pendapatan dari unit bisnis lain untuk membayar biaya operasional 7-Eleven.
Donny menyatakan keputusan manajemen dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan. Selama ini fokus utama Modern Internasional memang selalu diarahkan untuk bisnis 7-Eleven, sehingga jika bisnis ini diteruskan akan menyebabkan bangkrutnya perusahaan secara keseluruhan. Padahal, penjualan 7-Eleven menyumbang 76 pendapatan Modern Internasional.
"Ini pembelajaran baru bagi kami. Kami menyadari bahwa ini adalah salah satu risiko bisnis," ungkap Donny. (Baca: Nasib Merana Pegawai Hingga Tukang Parkir 7-Eleven Jelang Kebangkrutan)
Penutupan semua gerai 7-Eleven, kata Donny, membuat Modern Internasional secara de facto sudah tidak lagi bekerja sama dengan SEI. Namun, pihak manajemen masih memiliki kontrak untuk franchise sampai 2029. Kontrak ini telah ditandatangani sejak 2009, senilai US$ 1,5 juta.
Meski masih punya kontrak tertulis, Donny menyatakan Modern Internasional tidak akan melanjutkan bisnis retail untuk saat ini. Dia juga belum bisa memastikan kapan perusahaannya akan kembali masuk ke bisnis ini. Langkah berikut Modern Internasional adalah kembali fokus pada unit bisnis yang lain, yaitu distribusi peralatan Medical Imaging bermerk Shimadzu dan Sirona, serta distribusi mesin fotokopi RICOH.
(Baca: Batal Diakuisisi Charoen Pokphand, Saham Induk 7-Eleven Anjlok 12%)