Rencana pemerintah mengembangkan Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terkendala berbagai persoalan pelik. Selain persoalan tumpang tindih pemanfaatan lahan, pengusaha dari beberapa asosiasi bisnis melaporkan masalah tumpang tindih pengelolaan yang menyebabkan matinya pelayanan publik selama enam bulan terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui pengembangan Batam menjadi KEK memang terkendala berbagai masalah. "Masalah paling banyak soal tanah atau lahan. Tidak mudah (menyelesaikannya), tapi pasti ada solusinya," ujar Darmin usai rapat terkait KEK Batam dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di kompleks MPR/DPR, Jakarta, Jumat (7/10).
(Baca juga: Percepat Sertifikasi Tanah Rakyat, Pemerintah Gandeng Swasta)
Permasalahan lahan ini muncul akibat bercampurnya pemukiman dengan kawasan industri dan pariwisata di Batam. Saat ini, pemerintah mencarikan solusi guna memisahkan kawasan sesuai fungsinya. Salah satu strateginya, meminta industri di tengah kawasan pemukiman untuk pindah ke wilayah KEK. Pemerintah akan memberikan insentif agar industri bersedia pindah atau membangun baru di wilayah KEK.
Selain soal tumpang tindih lahan, persoalan pelik lainnya adalah pengelolaan antara Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota Batam. Dualisme kewenangan ini menyebabkan ketidakefisienan di wilayah tersebut. Bahkan, hal itu sampai menyebabkan matinya pelayanan publik selama enam bulan belakangan. Kondisi tersebut menuai protes dari kalangan pengusaha dari berbagai asosiasi bisnis.
"Kami sudah mendengar keluhan, protes, usulannya yang disampaikan beragam, ada yang akumulasi lama ada yang baru. Saya melihat kalau hanya untuk berdebat tidak ada gunanya. Kami akan ambil alih kami akan selesaikan. Tentu kami minta laporannya ditulis," ucap Darmin.
Salah satu asosiasi yang mengeluhkan soal dualisme pengelolaan adalah Real Estate Indonesia (REI) Batam. Secara bergantian, perwakilan REI Batam mengeluhkan adanya 5.200 unit pemecahan pemetaan lokasi yang masih belum selesai. Selain itu, mereka memprotes sulitnya perizinan lahan pasca pemerintah mengganti Otoritas Batam dengan BP Batam.
Sejak adanya BP Batam, izin peralihan hak (IPH) lahan terus bertambah dan menyulitkan. Jika pada 2015 hanya 12 poin, maka tahun ini naik menjadi 17 poin. Sedangkan sejak BP Batam beroperasi naik lagi menjadi 20 poin.
"Hal ini membuat turunnya transaksi, khususnya terkait hunian yang disediakan REI," ujar salah satu anggota REI Batam. (Baca juga: Ikut Tax Amnesty, Lippo Group Belum Tinggalkan Singapura)
Menyikapi rentetan keluhan dan tudingan tersebut, Ketua BP Batam Hatanto Resodipoero sempat terpancing emosi. Ia membantah semua tudingan yang dialamatkan kepada institusinya.
Menurut dia, jajarannya terus berusaha keras menyelesaikan permasalahan yang ada, terutama terkait lahan. Permasalahan yang dikeluhkan kalangan pengusaha sekarang sudah berlangsung lama, dan jauh sebelum dirinya menjabat. Alhasil, pelu waktu panjang untuk menyelesaikan semua permasalahan.
"Ini tidak mudah. Kami selama ini juga telah berusaha. Kami ini juga kan hanya pelaksana," ujar Hatanto. (Baca juga: Terbanyak dari Cina, Sejuta Turis Asing Selama Agustus)
Mengacu pada data BP Batam, kawasan tersebut memiliki potensi berkembang yang besar jika dilihat dari segi pertumbuhan investasi dan pajak. Akumulasi investasi Batam hingga 2014 tercatat sebesar US$ 17,71 miliar atau naik 21,4 persen dari tahun 2010 yang sebesar US$ 14,59 miliar.
Pada 2014, investasi terbesar masih berasal dari asing yaitu US$ 8,27 miliar, diikuti investasi domestik sebesar US$ 5,82 miliar dan investasi pemerintah sebesar US$ 3,62 miliar.
Adapun penerimaan pajak Batam tercatat naik 116,37 persen dari Rp 1.817,39 triliun pada 2010 menjadi Rp Rp 3.932,35 triliun pada 2014.