KATADATA ? Pemerintah Daerah Papua menyebut investor asal Cina, Golden Felix, telah menyatakan kesediaannya membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter di Papua. Nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 1 milliar, dengan kapasitas pengolahan hingga 900.000 ton per tahun.
Mengenai investasi smelter tersebut, pemerintah menjanjikan insentif kepada Golden Felix. Insentif yang diberikan berupa pengurangan pajak penghasilan atau tax allowance.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Daerah Papua Bangun S. Manurung mengatakan rencananya pembangunan smelter ini akan dimulai tahun depan. Namun, Bangun tidak mengetahui secara pasti kapan realisasi investasi smelter ini dilakukan.
Setelah menyatakan komitmennya, Golden Felix kembali ke Cina, dengan alasan ingin menyusun konsep pembangunan smelter. Hingga saat ini investor tersebut belum juga menindaklanjuti rencananya.
"Kami masih tunggu mereka (Golden Felix) bicara lahan, izin dan sebagainya. Juga bicara dengan PT Freeport Indonesia soal bayaran, dan yang lain," ujar Bangun, usai acara 'Trade and Investment: East Indonesia Regions' di Jakarta, Senin (25/5).
Menurut Bangun, smelter ini akan mendapatkan jaminan pasokan bahan baku penuh dari PT Freeport Indonesia sebanyak 900.000 ton per tahun. Freeport pun wajib memasok konsentrat mineralnya agar bisa melakukan ekspor.
Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar mengatakan sebenarnya Freeport, tidak bisa hanya mengandalkan smelter yang akan dibangun Golden Felix. Freeport perlu juga membangun smelter sendiri. Karena jika belum ada kemajuan untuk membangun pabrik pengolahan ini, maka perusahaan asing ini akan dilarang ekspor.
"Bangun smelter di Papua itu given, keharusan. Yang membangun pemerintah daerah bekerja sama dengan investor. Yang penting kewajiban Freeport memasok 900.000 ton konsentrat," ujar dia.
Sementara Direktur Utama Freeport Maroef Sjamsuddin menyatakan perusahaannya tidak akan mengembangkan smelter di Papua. Pembangunan smelter di Papua akan dilakukan sepanjang pemerintah belum menyediakan infrastruktur bagi industri turunan dari proses pemurnian emas.
"Kalau kami ingin membangun smelter, tentu yang perlu diperhitungkan adalah industri lanjutan dari smelter tersebut," kata dia.
Dia mencontohkan infrastruktur pengolahan limbah produksi yang harus ada. Jika pengolahan limbahnya tidak ada, maka proses pemurnian bijih emas justru akan mencemari lingkungan di Papua.
Proses pemurnian mineral ini akan menghasilkan asam sulfat yang tergolong dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Padahal jika diolah, asam sulfat ini bisa menjadi pupuk. Limbah padat yang dihasilkan yakni gypsum, juga masuk ke dalam kategori B3. Namun, masih bisa diolah menjadi bahan baku pembuatan semen yang sangat dibutuhkan masyarakat Papua.
Karena perhitungan ketersediaan infrastruktur inilah, makanya Freeport memilih membangun smelter di Gresik, Jawa Timur. Smelter yang akan dibangun ini bisa menghasilkan 40 persen konsentrat. Lebih rendah dari syarat yang diatur pemerintah sebesar 100 persen. Untuk mencapai syarat Freeport akan mengembangkan pembangunan pabrik di daerah yang sama.