Periode 1970-an merupakan era kejayaan komoditas sutra di Sulawesi Selatan. Sekitar tiga ribu petani yang tersebar di 13 kabupaten/kota membudidayakan komoditas ini. Namun, seiring waktu hanya tersisa dua kabupaten yang membudidayakannya.
Saat ini, mayoritas penenun yang tersisa merupakan perempuan. Mereka tidak lagi berada di usia produktif dan tidak mengenyam pendidikan formal. Banyak dari penenun yang menggantungkan hidup dari komoditas ini pun masuk ke dalam lingkaran kemiskinan.
Sayangnya, kalangan muda tidak lagi menggeluti kegiatan menenun sutra yang dilakukan secara turun-temurun untuk kegiatan adat dan kebudayaan ini.
Melihat situasi tersebut, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) bekerja sama dengan Yayasan BaKTI dan didukung Program Knowledge Sector Initiative (KSI) berupaya membangun pengetahuan sebagai dasar penyusunan kebijakan untuk menghidupkan kembali komoditas andalan ini dengan peneliti dan ahli dari universitas, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil.
Menurut Analis Kebijakan dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulawesi Selatan, Yvonne M. Salindeho, kegiatan tenun sutra penting untuk mempertahankan nilai budaya. Oleh karena itu, generasi muda perlu diyakinkan jika sutra memiliki potensi ekonomi yang besar.
“Kami mengharapkan pembaharuan informasi dari fakta lapangan yang valid. Sehingga untuk melengkapinya, dibuat kajian dari hulu ke hilir secara komprehensif melalui kolaborasi dan harapannya bisa menjadi masukan bagi penyusunan kebijakan,” ujar Yvonne kepada Tim Riset Katadata (8/10).
Proses penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan melewati beberapa tahap. Pertama, diawali dengan proses agenda setting berupa rangkaian diskusi multipihak untuk mengidentifikasi isu hingga prioritas komoditas unggulan.
Kedua, penyusunan kerangka kajian dan pembentukan sejumlah tim, termasuk Tim Pelaksana Kajian dan Tim Pengendali Mutu (TPM), yang terdiri dari peneliti dan ahli dari universitas, Bappelitbangda dan organisasi masyarakat sipil.
Ketiga, pelaksanaan kajian kolaborasi yang dikawal oleh TPM untuk memastikan kualitas kajian yang baik, melalui sejumlah pertemuan, seminar hasil, hingga finalisasi laporan kajian. Keempat, hasil dan rekomendasi kajian diformulasikan ke dalam rancangan kebijakan, bersama dinas terkait dan Analis Kebijakan Bappelitbangda Sulsel.
Pada tahap keempat ini, dilakukan sejumlah pertemuan pembahasan dan konsultasi publik untuk membuat rumusan final, yang dikonsultasikan dengan Kementerian Dalam Negeri. Setelah itu, naskah kebijakan akan disahkan oleh Kepala Daerah melalui Peraturan Gubernur (Pergub).
Karena merupakan pengalaman baru, Yvonne dan tim pelaksana kajian menemukan berbagai tantangan dalam prosesnya, terutama dalam tahap penyelarasan. Sebab, kajian ini melibatkan berbagai aktor dari beragam disiplin ilmu.
“Selama ini yang dilakukan adalah penelitian sendiri-sendiri. Sekarang kajian dilakukan oleh peneliti dari latar belakang dan bidang ilmu yang berbeda dalam waktu yang ditentukan. Ini memberikan tantangan dan menjadi warna tersendiri dari kerja tim kita,” ujarnya.
Namun, Yvonne memetik hal positif dari kolaborasi ini yakni berupa transfer pengetahuan. Semua pihak yang terlibat dapat melihat dari berbagai segi seperti ekonomi-Lingkungan, kesetaraan gender, pemberdayaan masyarakat, kebijakan dan kelembagaan serta rantai nilai industri sutra.
Di sisi hulu, tim kajian melihat adanya permasalahan bibit ulat sutra dan berkurangnya produktivitas akibat penggunaan pestisida. Karena kurangnya telur ulat berkualitas, petani memilih menggunakan telur impor dari negara lain. Sementara dari sisi pemintal dan penenun, mereka masih bekerja dengan alat yang sudah tertinggal secara teknologi dibanding negara lain.
Hal ini diperparah dengan bias gender dalam penyajian data situasi riil para pelaku penenun skala kecil yang menyebabkan minimnya akses ke pendampingan, pelatihan maupun bantuan pemerintah, sehingga mereka terlempar keluar dari rantai produksi. Hengkangnya para perempuan dari kerja menenun akan menjadi ancaman bagi kelangsungan industri sutra di Sulawesi Selatan.
Sementara pada sisi hilir, karena kurangnya pemahaman tentang tenun sutra, konsumen tidak dapat membedakan tenun sutra yang asli dan campuran. Dengan memahami persoalan nyata di lapangan, pemerintah daerah bisa merumuskan solusi yang komprehensif untuk mengembalikan kejayaan tenun sutra Sulsel.
Saat ini, naskah kebijakan tentang labelisasi sutra alam yang dirumuskan suatu tim yang dipimpin Dinas Perindustrian Sulsel sedang dikonsultasikan ke Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya, akan disahkan menjadi Peraturan Gubernur Sulsel tentang Labelisasi Sutra.
Menurut Yvonne, kajian berbasis bukti yang dilakukan oleh Sulsel juga merupakan contoh baik untuk direplikasi daerah lain. Karena adanya transfer pengetahuan menjadi pembelajaran untuk peneliti itu sendiri menemukan cara pandang, metode, dan inovasi baru.
Oleh karena itu, tim peneliti sedang menyusun petunjuk teknis kajian dan kegiatan kolaborasi. Untuk memungkinkan kajian ini terjadi, pemerintah daerah pun perlu membuka ruang untuk menciptakan kolaborasi dengan perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil.
“Ke depannya ini bisa diterapkan di semua kegiatan kelitbangan atau non-kelitbangan yang punya prospek atau tujuan lengkap. Dari proses ini banyak yang bisa digali dan dikembangkan lagi, baik kajian atau kegiatan baru dari hasil temuan, atau ide lain yang ditemukan di lapangan,” kata Yvonne.