Cerita Sukses UMKM BRI, Perempuan di Surabaya Bangun Kampung Kue

BRI
Komunitas perempuan di Surabaya bangun Kampung Kue dengan omzet puluhan juta
Penulis: Padjar Iswara - Tim Riset dan Publikasi
22/5/2022, 13.26 WIB

Kesuksesan tidak pernah mengenal latar belakang. Setiap orang berhak untuk meraih kesuksesan sepanjang mau bekerja keras dan berusaha.

Hal itu juga diyakini Choirul Mahpuduah (53 tahun), yang sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur. Kerja keras dan keinginan untuk berubah telah membawanya menjadi pebisnis sukses.

Sebelumnya, Mahpuduah pernah bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, usai kena PHK dia memilih untuk mendirikan komunitas usaha perempuan di kampungnya.

Di dalam komunitas ini terdapat beberapa unit usaha termasuk usaha kue milik Mahpuduah. Dia menyebut “Kampung Kue” merupakan paguyuban yang anggotanya terdiri atas 63 orang pengusaha kue.

“Kampung kue saya gagas mulai 2005, saya melihat pada 2005 banyak ibu-ibu di kampung kalau pagi-pagi sudah menganggur atau merumpi tidak melakukan kegiatan yang produktif,” katanya.”Kalau siang sebagian dari mereka dikejar-kejar rentenir.”

Dari situ dia berpikir, untuk membuat komunitas “Kampung Kue” di Rungkut Lor Gang 2 RT 04 RW 05 Kelurahan Kalirungkut Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, agar ibu-ibu di sana menjadi produktif.

Sebelum mendirikan komunitas, perempuan berusia 53 tahun ini terlebih dulu melakukan pengamatan kecil-kecilan. Warga setempat pada tahun 1970-an dikenal sebagai produsen pakaian dalam laki-laki dan perempuan.

Kemudian, ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 sebagian ada yang memproduksi kue. Namun, saat itu tidak terlalu berdampak besar apalagi dampaknya terhadap masyarakat lingkungan sekitar.

Akhirnya Mahpuduah, mencoba mengembangkan potensi yang pertama, yaitu mengembalikan kejayaan Rungkut Lor Gang 2 dengan membuka usaha sulam pita. Akan tetapi, usaha itu tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian ibu-ibu.

Menurut dia, dengan membangun komunitas usaha bisa mengangkat martabat perempuan menjadi pribadi yang lebih produktif, khususnya bagi ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 yang sebelumnya menganggur.

Di samping itu, ada sebagian ibu-ibu yang menolak didirikannya komunitas, tapi dia menganggap itu lumrah. Berbekal tekad kuat, akhirnya pada 2005 resmi berdiri komunitas “Kampung Kue” yang didalamnya terdiri atas 63 pengusaha kue, baik kue basah dan kering. “Dari situ saya mengajak ibu-ibu pelatihan bikin kue sebisa saya,” ujarnya

Kemudian semakin lalau, komunitas ibu-ibu tersebut memiliki jaringan dengan LSM-LSM perempuan, serikat buruh dan dinas-dinas dengan perusahaan perusahaan swasta, BUMN, universitas dan para mahasiswa. “Ini  yang akhirnya membuat nama kampung kue semakin dikenal,” kata Mahpuduah.

Saat awal mendirikan komunitas Kampung Kue, dihadapkan dengan kesulitan pembiayaan. Saat itu, semua pendanaan masih keluar dari kantong pribadi Mahpuduah.

Kemudian, dia sadar bahwa diperlukan urunan dana dari anggota. Terkumpulah dana sebanyak Rp150 ribu yang berasal dari tiga orang anggota komunitas Kampung Kue. Dana tersebut digunakan untuk simpan pinjam anggota jika memerlukan dana untuk membuat kue.

Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas terus bertambah, dari 10 orang menjadi 15 orang, seterusnya hingga kini ada 63 orang.

Setiap anggota diarahkan untuk memiliki simpanan pokok Rp50 ribu dan simpanan sukarela disesuaikan dengan kemampuan anggota, sementara simpanan wajibnya Rp10 ribu per bulan.

“Saat pertama kali berdiri komunitasnya kesulitan dalam pendanaan,” kata dia,”tapi setelah semua perusahaan swasta, BUMN, pemerintah, akademisi mengenal kampung kue, akses permodalan pun menjadi lebih mudah termasuk dengan BRI.”

Untuk omset sendiri, sebelum pandemi perputaran uang per hari dalam komunitas Kampung Kue mampu mencapai Rp20 juta per hari.

Namun, ketika pandemi hanya 10 persennya. Sekitar bJuli 2021 ekonomi semakin membaik, akhirnya di tahun 2022 ini Kampung Kue bisa bangkit kembali.

Mahpuduah menjelaskan, memang penghasilan setiap anggota berbeda-beda karena pengelolaannya diserahkan ke masing-masing individu.

Namun dengan banyaknya jumlah anggota, dan karakter bisnisnya ibu-ibu itu berbeda-beda, ada yang mempekerjakan karyawan bahkan ada juga yang masih memanfaatkan anggota keluarganya masing-masing untuk membantu membuat kue.

Produk kue yang dihasilkan komunitasnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu kue basah dan kue kering. Untuk Kue basah ada dadar mawar,  pisang coklat, dadar gulung,  lumpur, pandan fla, puding, onde-onde, muffin, apem, terang bulan, pastel, risoles,  pie susu, pie apel, pie susu keju, donat dan masih banyak lainnya.

Sementara, produk kue kering terdiri dari Almond Crispy, kacang, dan Cheese stick. Untuk harga, Kampung Kue mematok di kisaran Rp1.500–4.500 untuk kue basah. Sementara kue kering mulai dari Rp 15.000-70.000.

“Ada kue-kue basah tetapi ada juga kue-kue kering yang dihasilkan di kampung kue, dan bisa menjadi oleh-oleh khas Surabaya misalnya almond crispy yang saya produksi itu sudah bisa dijual bisa menembus pasar Singapura melalui Bank Indonesia,” katanya.

Sebab kue kering itu sifatnya tahan lama dibanding kue basah, sehingga penjualannya bisa sampai ke luar negeri, dan penjualannya hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Misalnya ke Jakarta, Kalimantan, Bogor, Batam, Mataram, dan Bali.

Tak hanya penjualan offline, komunitas Kampung Kue juga menjual berbagai produknya secara online, baik melalui media sosial seperti facebook, Instagram, dan WhatsApp. Anggota komunitas juga sudah mengikuti kelas-kelas digital marketing.

Bantuan CSR BRI
Mahpuduah mengatakan, hampir semua anggota komunitas Kampung Kue merupakan nasabah BRI. Akhirnya begitu mantri BRI datang dan mereka tertarik dengan kegiatan Kampung Kue, hingga memutuskan menyalurkan bantuan berupa sarana dan prasarana pada 2021.

“Seperti tenda, celemek, meja, baju, topi, dan pameran-pameran kami diajak BRI untuk mempromosikan produk Kampung Kue,” kata dia.”Kami tidak dapat bantuan uang, tapi sarana dan prasarana dalam bentuk barang yang bisa kami manfaatkan.”

Pada 8 Februari 2022 Kampung Kue telah diresmikan oleh Wali Kota Surabaya sebagai Kampung Wisata Kuliner, dan edukasi. “Apa yang diberikan BRI sangat bermanfaat, karena meja dan tendanya bisa dipakai untuk berjualan,” ujarnya.

Sementara, untuk bantuan bentuk uang lebih ke KUR. Para anggota komunitas Kampung Kue menjadi lebih mudah mendapatkan pinjaman dari BRI.

“Selama kami bekerja sama dengan banyak pihak, kami lebih mengutamakan bantuan sarana dan prasarana, pelatihan-pelatihan, digital marketing, hingga food photography,” katanya.

BRI juga mengajak komunitas ibu-ibu Kampung Kue untuk ikut Bazaar Ramadhan di Maspion Square. “Menurut saya BRI telah memudahkan ibu-ibu membuka usaha,” kata Mahpuduah