Mengenal Tarian Ma'Badong, Kesenian Tradisional Tanah Toraja

ANTARA FOTO/Arnas Padda/foc.
Ilustrasi, sejumlah wisatawan melihat prosesi ritual Manene di kawasan desa wisata To'rea, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Selasa (16/8/2022).
Penulis: Tifani
Editor: Agung
30/8/2022, 15.20 WIB

Toraja adalah salah satu etnis di daerah Sulawesi Selatan yang memiliki kesenian adat warisan leluhur yang masih dilaksanakan hingga saat ini. Salah satunya adalah, tari Ma’badong.

Kesenian tari tradisional ini menjadi bagian dari prosesi adat yang sakral di tanah Toraja. Tari Ma’Badong merupakan rangkaian prosesi Ma’Badong dalam upacara kematian rambu solo.

Ma’Badong merupakan upacara kematian yang mewajibkan keluarga untuk membuat pesta sebagai tanda penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Bagi suku Toraja, riwayat leluhur perlu dijaga dengan cara menghormati mereka yang telah meninggal. Masyarakat suku Toraja juga percaya ritual Ma'Badong meningkatkan rasa solidaritas masyarakat dan religius.

Dikutip dari laman Kemdikbud.go.id, masyarakat suku Toraja percaya melalui ritual Ma’Badong dapat  memberikan kehidupan, keberkahan, keselamatan, maupun yang berupa penderitaan dan kesengsaraan.

Sekilas Kesenian Ma’Badong

Kesenian Ma’Badong dilakukan dalam bentuk tarian dan nyanyian. Kesenian ini digelar tanpa diiringi alat musik, namun berisi syair-syair yang berisi puji-pujian kepada orang yang sudah meninggal.

Terkadang syair-syair kesenian Ma’badong juga berisi ratapan-ratapan kesedihan dari orang yang ditinggalkan. Nyanyian badong terdiri dari empat jenis, dan dinyanyikan secara berurut sesuai dengan fungsinya. Empat nyanyian badong antara lain badong nasihat, badong ratapan, badong berarak, dan badong selamat (berkat).

Semua syair-syair Ma’badong menggunakan bahasa Toraja. Tari Ma’badong dilakukan oleh minimal tiga orang hingga jumlah yang tak ditentukan, bahkan mencapai ratusan orang. Maka tidak heran kesenian ini kerap dilakukan di lapangan terbuka.

Peserta kesenian Ma’Badong disebut sebagai Pa’Badong, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa hingga lanjut usia. Pa’Badong menggunakan pakaian hitam dan sarung yang juga berwarna hitam.

Namun ada kalanya para Pa’Badong menggunakan pakaian adat Toraja. Seiring dengan waktu maka peserta badong akan semakin banyak membentuk lingkaran besar. Bentuk melingkar dalam kesenian Ma’Badong disebut dengan issung.

Issung diartikan sebagai lesung, lingkaran tersebut dianggap memiliki kemiripan dengan bulat lesung bagian atas. Dalam ritual Ma’Badong, lingkaran penyanyi dapat berjumlah lebih dari satu. Satu lingkaran dikenal dengan nama sangissung dan dua lingkaran disebut duangissung.

Jika kesenian Ma’Badong dilakukan lebih dari satu kelompok lingkaran, maka tiap kelompok akan memiliki pemimpin grupnya sendiri-sendiri. Nantinya syair-syair yang dilagukan bisa jadi berbeda antar kelompok. Meskipun demikian, nyanyian yang berasal dari kelompok yang berbeda tersebut, tidak saling mengganggu dan tumpang tindih.

Bentuk Kesenian Ma’Badong

Nyanyian dalam Ma’Badong cenderung menonjolkan penggunaan lantunan huruf vokal yang lebih banyak diperdengarkan sepanjang lagu, sehingga irama yang ditangkap tetap terasa sejalan dan serasi.

Gerakan dalam Ma’Badong tergolong sangat sederhana dan bisa dipelajari dalam seketika. Para Pa’badong  berdiri membentuk formasi lingkaran berpegangan dengan menggunakan jari kelingking yang saling melingkar sambil menyanyikan nyanyian badong.

Lingkaran kadang-kadang dipersempit dengan cara berjalan maju dan mundur dengan badan digoyangkan. Kepala digerakkan ke depan dan ke belakang. Bahu digerakkan ke atas dan ke bawah. Sedangkan tangan diayunkan ke arah dada kemudian ke belakang.

Sementara kaki diayunkan ke depan secara bergantian sambil bergeser ke kiri dan ke kanan. Para Pa’Badong berganti tempat dengan cara bergeser ke kanan tetapi tidak berganti posisi. Untuk mengakhiri ritual ma’badong, sebelum membubarkan diri para penyanyi Ma’Badong biasanya melakukan nondo pua (lompatan besar) yaitu dengan melakukan lompatan-lompatan ke kiri dan ke kanan.

Ritual kesenian Ma’Badong ini dapat dilakukan semalam suntuk, tergantung kemauan dan kemampuan dari penyanyi. Tari Ma’badong dilaksanakan sebelum seorang yang meninggal diantarkan ke tempat pemakaman. Tidak ada batasan tempat maupun lamanya pelaksanaan.

Akan tetapi untuk ritual yang dilakukan hingga tengah malam, pada umumnya penyanyi Ma’Badong adalah kaum pria. Sebab mereka lebih kuat menahan kantuk dan tidak terlalu repot dengan urusan rumah tangga. Tari Ma’ badong dapat dilakukan kapan saja tetapi lebih sering dilakukan pada sore dan malam hari.

Kesenian ini tidak boleh ditarikan sesuka hati, sebab tarian ini tidak bisa dilakukan jika tidak ada orang yang meninggal. Hal ini ini telah menjadi ketentuan adat Totaja sejak zaman dahulu. Jika diadakan tanpa ada orang yang meninggal, berarti menyetujui jika akan ada orang yang meninggal.

Sayangnya, kesenian ini sudah mulai tak diminati khususnya para generasi muda. Karena itu, untuk mempertahankannya di beberapa tempat dibentuklah kelompok Pa’Badong yang dapat diundang setiap ada kedukaan.

Namun, motivasi pelaksanaan kesenian ini sudah mulai bergeser ke motif ekonomi, bukan lagi murni mengungkapkan kesedihan dan doa untuk saling menghibur sebagaimana tujuan awal dari tarian ini.

Namun, bagi masyarakat Toraja yang di perantauan biasanya badong dilakukan secara tanpa motivasi apa pun, sehingga berbeda dengan Tanah Toraja di mana Badong itu lahir. Para Pa’Badong selain dijamin dengan makanan, minuman, dan rokoknya mereka juga biasanya meminta diberi imbalan uang, babi, atau kerbau.