Mengenal 6 Tradisi Suku Tengger yang Menarik dan Bermakna Sakral

ANTARA FOTO/Umarul Faruq/wsj.
Ilustrasi, masyarakat Suku Tengger melarung sesaji ke kawah Gunung Bromo pada Upacara Yadnya Kasada di Desa Ngadisari, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, Kamis (16/6/2022). Upacara Kasada merupakan upacara adat masyarakat Suku Tengger sebagai bentuk ucapan syukur kepada Sang Hyang Widi sekaligus meminta berkah dan menjauhkan dari malapetaka.
Penulis: Tifani
Editor: Agung
1/9/2022, 15.17 WIB

Jawa Timur adalah daerah yang kaya akan seni, budaya, dan tradisi. Berbagai tradisi daerah yang ada di wilayah ini memiliki latar belakang yang beragam, dan masih dilestarikan hingga saat ini. Salah satunya adalah, tradisi suku Tengger.

Mengutip goodnewsfromindonesia.id, suku Tengger merupakan masyarakat yang berasal dari dataran tinggi Bromo-Tengger-Semeru. Penduduknya menempati wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.

Tradisi suku Tengger yang terkenal antara lain, upacara Kasada atau Yadnya Kasada. Kemudian, ada lagi upacara Mecaru, dan masih banyak lagi. Beberapa tradisi suku Tengger ini masih dilakukan hingga saat ini, dan masing-masing memiliki makna yang sakral.

Tradisi Suku Tengger

Berikut ini penjelasan mengenai beberapa tradisi suku Tengger yang dihimpun dari berbagai sumber.

1. Yadnya Kasada

Tradisi suku Tengger yang pertama adalah, upacara Kasada atau Yadnya Kasada. Upacara ini, merupakan merupakan kelanjutan dari sistem kepercayaan masa prasejarah yang terfokus pada pemujaan arwah leluhur dan kultus Gunung Bromo sebagai pancering jagad atau poros dunia (axis mundi).

Kasada adalah ritual pemberian kurban (ngelabuh) dari keturunan R.Kesuma di kawah Gunung Bromo sesuai dengan keyakinan keagamaan masyarakat Tengger. Kasada dilaksanakan setiap tahun, mangsa asada, tanggal 14 bulan purnama. Kasada itu sama dengan sedekah bumi dan tanda syukur atas semua pemberian Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa hari sebelum Upacara Kasada dimulai, masyarakat akan mengerjakan sesajian yang berisi berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Pada malam upacara berlangsung, mereka akan berbondong-bondong membawa ongkek yang berisi sesaji-sesaji tersebut menuju pura. Tepat pada tengah malam, upacara pelantikan dukun dan pemberkatan umat di pura tersebut akan berlangsung.

Selepas upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi berbagai sesajian tersebut akan dibawa dari kaki gunung menuju puncak gunung. Sesampainya di puncak, mereka akan melemparkan sesajian-sesajian tersebut ke kawah Gunung Bromo sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang.

2. Unan-Unan

Tradisi suku Tengger berikutnya adalah, Unan-Unan. Upacara ini diadakan untuk kembali menyelaraskan alam karena adanya bulan yang dihapus pada tahun manis atau tahun kabisat.

Dalam bahasa Tengger, Unan-Unan artinya melengkapi bulan yang hilang agar kembali utuh. Uniknya, upacara ini diselenggarakan setiap lima tahun sekali dan wajib diadakan di setiap desa.

Tujuan dari Unan-Unan juga untuk memberikan sedekah kepada alam dan isinya, juga pada mereka yang menjaga sumber mata air, desa, dan tanah untuk pertanian.

Unan-Unan juga sering disebut bersih desa, yang dimaknai sebagai membebaskan desa dari gangguan makhluk halus atau bhutakala dan sebagai bentuk permohonan agar terhindar dari penyakit dan terbebas dari penderitaan dalam kehidupan.

Pada upacara ini, masyarakat akan mengurbakan kerbau. Pemilihan hewan kurban ini karena orang Tengger percaya bahwa kerbau merupakan hewan pertama yang muncul di bumi. Ketika upacara berlangsung, semua masyarakat bergotong-royong menyiapkan seluruh persiapannya dan mengesampingkan perbedaan agama.

3. Upacara Mecaru

Tradisi suku Tengger yang ketiga adalah upacara mecaru. Pelaksanaannya dimulai sejak pagi di masing-masing desa kemudian dilanjutkan pada siang hari, di mana seluruh umat Hindu suku Tengger di Gunung Bromo melanjutkan upacara Mecaru bersama atau Tawur Agung Kesanga yang dipusatkan di lapangan Telogosari, Tosari, Pasuruan.

Upacara yang diikuti ribuan umat Hindu suku Tengger di kawasan Gunung Bromo tersebut kemudian dilanjutkan dengan mengarak puluhan Ogoh-ogoh ke masing-masing desa di wilayah Kecamatan Tosari, Tutur (Nongkojajar), dan Puspo.

Umat Hindu suku Tengger yang telah bersih dari pengaruh sifat jelek, kemudian melaksanakan Catur Berata Penyepian, yakni tidak menyalakan api (Amati Geni),  tidak bekerja (Amati Karya),  tidak bepergian (Amati Lelungan), dan tidak bersenang-senang (Amati Lelalungan).

Mecaru merupakan rangkaian prosesi upacara yang dilakukan umat Hindu untuk menyambut Hari Raya Nyepi sebagai upaya introspeksi diri untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Widi, sesama manusia, serta lingkungan, atau yang disebut Tri Hita Karana.

4. Perayaan Hari Karo

Hari Karo bagi masyarakat Tengger adalah hari raya paling besar. Datangnya hari ini sangat dinanti-nanti oleh masyarakat Tengger. Pada dasarnya, hari raya Karo dirayakan bersamaan dengan hari raya Nyepi.

Dalam tradisi suku Tengger yang satu ini, masyarakat Tengger akan melakukan pawai dengan membawa hasil bumi. Kemudian, ada pula pementasan kesenian adat seperti pergelaran Tari Sodoran. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan bersilaturahmi ke rumah saudara dan juga tetangga.

5. Upacara Pujan Mubeng

Diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Pada tradisi suku Tengger ini, seluruh warga berkeliling desa bersama dukun sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi empat penjuru  desa.

Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan warga desa.

6. Ritual Ojung

Ojung merupakan salah satu kesenian asli suku Tengger. Tradisi suku Tengger yang satu ini, merupakan perkelahian satu lawan satu menggunakan senjata yang terbuat dari rotan.

Kedua petarung akan saling mencambuk satu sama lain dengan rotan tersebut. Pemenang Ojung adalah peserta yang lebih banyak mencambuk. Ojung bisa diikuti oleh pria dari suku Tengger dari usia 17 hingga 50 tahun.

Tak hanya menjadi kesenian, Ojung juga digelar sebagai bentuk ritual memohon hujan kepada Sang Pencipta dan biasa dilakukan saat musim kemarau.