Sejarah Sungai Citarum, Sungai yang Pernah Memisahkan Dua Kerajaan

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.
Ilustrasi, Sungai Citarum yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Cianjur di Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022).
Penulis: Tifani
Editor: Agung
9/9/2022, 16.38 WIB

Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat. Sungai ini mengalir sepanjang 297 kilometer (km), berhulu di Cekungan Bandung dan bermuara di Laut Jawa.

Sungai ini hampir membelah Pasundan dengan dialiri mata air yang bersumber dari Gunung Wayang, sebelah selatan Kota Bandung. Dari Gunung Wayang tersebut, aliran Citarum melewati dasar cekungan dan mengalir menuju Waduk Saguling. Kemudian, bermuara di pantai utara Pulau Jawa tepatnya di Kabupaten Karawang.

Dilansir dari laman citarum.org, nama sungai ini berasal dari kata ‘Ci’ dan ‘Tarum’. Kata ‘Ci’ dipahami dengan Cai yang berarti air, sedang istilah 'Tarum’ berasal dari nama kerajaan Hindu tertua dan terbesar di Jawa Barat, yaitu Tarumanegara.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-5 Jayashingawarman membangun sebuah dusun kecil di tepi sungai. Ia membangun dusun kecil itu di tepi Sungai Citarum, lambat laun dusun kecil itu berkembang menjadi Kerajaan Tarumanegara.

Terdapat tujuh mata air di kawasan aliran Citarum, yaitu Pangsiraman, Cikahuripan, Cikawedukan, Koleberes, Cihaniwung, Cisandane, dan Cisanti. Mata air Pangsiraman adalah mata air paling besar. Masyarakat sering mengunjungi mata air ini untuk melakukan ritual mandi dan memohon doa.

Sejarah Singkat Sungai Citarum

Sungai Citarum pernah menjadi batas wilayah antara dua kerajaan, yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Awalnya Kerajaan Sunda bernama Kerajaan Tarumanegara. Namun, diubah namanya pada 670 Masehi.

Kemudian, sejarah ini berulang pada abad ke-15. Sungai Citarum dijadikan sebagai batas administrasi antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Banyaknya peninggalan sejarah di Sungai Citarum, membuktikan bahwa kerajaan ini memiliki daerah pemerintahan yang cukup luas.

Menurut Deilla Dachlan dalam buku "Aliran Kehidupan di Sungai Citartum", istilah ‘Tarum’ berarti sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila. Tingginya nilai ekonomi tanaman tarum di sepanjang sungai, membuat banyak warga menjadikannya sebagai ladang perdagangan ekspor dari Tarumanegara.

Hal ini disebabkan karena tarum atau nila adalah bahan pewarna biru yang sering digunakan untuk mewarnai jubah kebesaran para bangsawan, salah satunya kaisar Tiongkok.

Tidak hanya untuk warna biru, tanaman itu juga dapat digunakan untuk menghasilkan warna kuning dan merah. Pada zaman itu, warna biru, kuning, dan merah adalah warna yang paling disukai. Pasalnya, ketiga warna itu memiliki makna yang istimewa.

Warna biru adalah lambang langit sekaligus menjadi warna yang paling sakral, sehingga dapat dipakai pada acara-acara ritual keagamaan para kaisar. Warna merah adalah lambang besi atau kekuatan. Warna ini biasanya digunakan pada saat berperang, sementara warna kuning adalah lambang tanah yang berarti kebijakan.

Sejarah Sungai Citarum juga memiliki hubungan dengan legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Cerita rakyat tersebut dikaitkan dengan terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu dan sungai ini. Sejak zaman dahulu, Sungai Citarum telah memegang peranan yang penting, terutama bagi kehidupan manusia.

Wilayah Rawan Bencana dan Tercemar

Sungai Citarum ini kerap dikaitkan dengan bencana banjir yang melanda termasuk banjir Jakarta. Bahkan banjir ini pun pernah melanda pada era kerajaan tarumanegara dalam peradaban masyarakat sunda.

Di era Maharaja Purnawarman yang memerintah pada 317-356 Saka atau 395-434 Masehi, pengerukan Sungai Citarum sudah dilakukan dalam upaya mengantisipasi banjir.

Kemudian sekitar 105.000 tahun yang lalu aliran Citarum terbendung oleh letusan dasyat Gunung Sunda yang kemudian membentuk Danau Bandung Purba. Kemudian makin lama paras air danau makin tinggi, diketahui sekitar 36.000 tahun yang lalu paras danau tertinggi mencapai 725 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Letusan Gunung Tangkubanparahu (anak Gunung Sunda) materialnya melebar ke Selatan hingga ke dekat Citarum di sekitar Curug Jompong sekarang. Materialnya kemudian mengisi lembah-lembah yang menyebabkan danau raksasa tersebut terbelah menjadi dua yaitu Danau Bandung Purba Barat dan Danau Bandung Purba Timur.

Dilansir dari laman konservasidas.fkt.ugm.ac.id, Sungai Citarum menyandang predikat sebagai salah satu wilayah yang tercemar di dunia pada 2018. Bahkan pada tahun 2013, Green Cross Swizerland dan Blacksmith Institute telah membenarkan bahwa Sungai Citarum menjadi salah satu tempat tercemar dan terkotor di dunia.

Aliran air di sepanjang sungai mengalami penurunan kualitas karena banyaknya erosi serta ditambah pencemaran kotoran ternak, sampah rumah tangga dan limbah pabrik. Berbagai senyawa beracun pun ikut muncul di Sungai Citarum yang tentunya berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.

Namun kini, Sungai Citarum berhasil melepas predikat tersebut, dan kualitas air yang mengalir di sungai ini berangsur membaik.