Mengulik Legenda Unik di Balik Kawasan Wisata Danau Maninjau

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Ilustrasi, foto udara objek wisata Linggai Park yang baru selesai dibangun, di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Jumat (7/2/2020).
Penulis: Tifani
Editor: Agung
15/9/2022, 16.28 WIB

Kawasan wisata Danau Maninjau terletak di kabupaten Agam, Sumatera Barat. Danau ini berada di ketinggian 460 meter diatas permukaan laut (mpdl), yang memiliki pemandangan alam nan memukai, yang mampu menarik wisatawan untuk mengunjunginya.

Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara dari Kota Padang, 36 kilometer dari Kota Bukittinggi, dan 27 kilometer dari Lubuk Basung Kabupaten Agam.

Danau Maninjau terbentuk akibat erupsi vulkanik dari Gunung Sitinjau sekitar 52.000 tahun yang lalu. Kaldera yang terbentuk dari erupsi gunung tersebut, kemudian berkembang menjadi danau dengan kedalaman hingga 108 meter. Kini, Danau Maninjau merupakan salah satu objek wisata ikon Kabupaten Agam.

Legenda di Balik Kawasan Wisata Danau Maninjau

Dilansir dari laman kemdikbud.go.id, dibalik keindahannya, Danau Maninjau menyimpan sebuah cerita legenda, yang diceritakan oleh masyarakat Minangkabau secara turun-temurun.

Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat sekitar, asal-usul Danau Maninjau berkaitan dengan kisah "Bujang Sembilan" yang mengisahkan tentang 10 kakak beradik yang terdiri dari sembilan orang bujang atau laki-laki dan seorang gadis.

Gunung Tinjau memiliki kawah yang sangat luas, namun dalam waktu singkat berubah menjadi sebuah danau. Kejadian tersebut tak lepas dari ulah dari Bujang Sembilan.

Bujang sembilan adalah sebutan untuk sembilan bersaudara lelaki yang tinggal di sebuah kampung kaki Gunung Tinjau. Bujang Sembilan terdiri dari Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan Kaciak. Sebenarnya, mereka sepuluh bersaudara dengan seorang adik perempuan bernama Siti Rasani.

Orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga keputusan di rumah itu dipegang oleh si sulung yang bernama Kukuban. Mereka juga terhitung masih bersaudara dengan pemimpin di kampung tersebut, yaitu Datuk Limbatang.

Baik Bujang Sembilan dan Siti Rasani adalah anak yang giat sehingga Datuk Limbatang, paman mereka kerap mengajari keterampilan untuk bertani dan mempelajari tentang adat setempat.

Hal itu tak lepas dari janji Datuk Limbatang kepada kakak perempuannya yang juga amak dari sepuluh bersaudara tersebut. Setiap datang ke tempat Bujang Sembilan, istri serta putra Datuk Limbatang yang bernama Giran pun turut serta.

Para lelaki bekerja di ladang, sementara yang perempuan memasak dan berbenah di rumah. Seiring berjalannya waktu, kemampuan Bujang Sembilan menggarap sawah semakin baik dan membawa hasil melimpah. Sementara Siti Rasani juga tumbuh menjadi remaja putri yang cantik dan baik budi.

Tanpa diduga, karena kerap bertemu tumbuhlah rasa cinta antara Siti Rasani dan Giran. Setelah memberanikan diri berbicara di depan kedua keluarga, hubungan mereka pun disetujui oleh kedua keluarga.

Hubungan berlangsung baik hingga pada perayaan panen raya, Kukuban dan Giran berhadapan dalam sebuah pertunjukan adu ketangkasan dalam bersilat. Giran yang menangkis serangan membuat kaki Kukuban patah, sehingga si sulung merasa dipermalukan.

Sejak itu Kukuban menyimpan dendam, hingga pada suatu hari Datuk Limbatang datang untuk menyampaikan niat Giran meminang Siti Rasani. Kukuban menolak dengan tegas maksud baik itu karena masih merasa dendam pada Giran.

Hal itu membuat Siti Rasani dan Giran sedih, dan memutuskan untuk berdiskusi di pinggir sungai untuk mencari jalan keluar agar mereka bisa menikah. Sayangnya setelah berdiskusi panjang mereka tidak juga bisa menemukan jalan keluar dan pada akhirnya Siti Rasani memutuskan untuk pulang.

Baru akan beranjak, sebuah tanaman berduri merobek sarung yang ia kenakan, pahanya pun terluka. Sontak Giran segera mencari tanaman obat untuk mengobati kaki kekasihnya. Tiba-tiba Bujang Sembilan datang bersama warga dan dengan penuh amarah menuduh mereka melakukan hal yang tidak pantas.

Sidang adat pun dilakukan untuk menentukan nasib dua sejoli tersebut, namun Bujang Sembilan terus memojokkan keduanya. Pembelaan Siti Rasani maupun Giran tidak didengar dan hukuman pun akhirnya dijatuhkan dengn alasan supaya kampung mereka terhindar dari malapetaka.

Keduanya lantas dibawa ke kawah Gunung Tinjau, hukuman yang telah diputuskan adalah Siti Rasani dan Giran harus dibuang ke dalam kawah. Sebelum dibuang, Giran berdoa meminta keadilan kepada Tuhan. Ia meminta agar Gunung Tinjau Meletus dan Bujang Sembilan mendapat kutukan.

Benar saja, setelah keduanya dibuang ke dalam kawah, gunung itu pun meletus dan mengeluarkan lahar yang membinasakan semua orang tanpa ada yang bisa selamat. Bekas letusannya kemudian menjadi sebuah cekungan yang terisi air dan menjadi sebuah danau yang indah.

Sementara Bujang Sembilan mendapat kutukan, mereka pun berubah menjadi ikan dan hidup di danau yang kini dikenal sebagai Danau Maninjau.

Danau Maninjau ini juga menjadi sumber air bagi sungai di sekitarnya, yaitu Sungai Batang Sri Antokan. Di sekitaran danau ini terdapat bukit yang cukup tinggi, yaitu Puncak Lawang. Wisata Puncak Lawang pun juga tak kalah menarik dengan Danau Maninjau.

Daya tarik dari Danau Maninjau terletak pada keindahan pemandangan alamnya yang bisa dilihat dari kejauhan. Bagi para pecinta fotografi, keindahan Danau Maninjau dapat dijadikan sebagai spot foto yang tidak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Sumatera Barat.

Spot terbaik untuk melihat dan memandangi Danau Maninjau terdapat di tengah kawasan yang disebut dengan kelok 44, yaitu sekitar kelok 23 hingga kelok 30. Di area inilah pemandangan bentangan Danau Maninjau yang dihiasi hamparan sawah yang subur terlihat sangat indah.