Luhut Sebut Kepemilikan Saham PLN dalam Proyek Listrik Tak Masuk Akal

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di Hotel Mulia, Jakarta pada Kamis (31/1). Luhut mengatakan aturan terkait kepemilikan saham anak usaha PLN dalam pembangunan proyek listrik tidak masuk akal.
10/12/2019, 19.42 WIB

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendukung revisi aturan mengenai kepemilikan saham PLN dalam proyek listrik. Menurut dia, kewajiban PLN sebagai pemegang saham mayoritas tidak masuk akal.

Saat ini, PLN harus memiliki saham minimal 51 persen dan perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) sebesar 49 persen. "Menurut saya tidak logislah," kata Luhut di Gedung Kemenko Maritim, Selasa (10/12).

Presiden Direktur PT Adaro Power Wito Krisnahadi mengatakan aturan terkait porsi kepemilikan saham mayoritas oleh anak perusahan PLN dapat berpotensi menghambat investasi. Pasalnya, investor hanya bisa memiliki saham maksimal sebesar 49 persen dalam proyek listrik.

"Namun, kebijakan tersebut hanya satu dari beberapa hal yang dapat menghambat investasi IPP oleh pihak investor. Hal-hal lainnya misalnya terkait dengan persyaratan-persyaratan tender, tingkat pengembalian balik, tarif di daerah yang bersangkutan, isu terkait logistik dari input materials, dan sebagainya," kata Wito ke Katadata.co.id pada Selasa (10/12).

(Baca: Investasi Sektor Listrik Capai Rp 116 Triliun Hingga Kuartal III 2019)

Pemerintah membuat regulasi mengenai porsi kepemilikan saham dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Dalam pasal 9 Perpres tersebut diatur pelaksanaan pembangunan infrastuktur ketenagalistrikan melalui kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PLN dengan badan usaha dalam negeri dan/atau badan usaha asing. 

Dalam kerja sama tersebut, saham anak perusahaan PLN paling sedikit sebesar 51 persen. Selain itu, Badan usaha dalam negeri dan/atau badan usaha asing harus memiliki penyediaan pendanaan yang diperlukan oleh PLN, memiliki ketersediaan energi yang akan digunakan oleh PLN, alih teknologi, dan/atau peningkatan kemampuan produksi dalam negeri.

Perubahan aturan tersebut penting untuk mendorong keterlibatan perusahaan swasta dalam proyek listrik. Apalagi, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 56,6 Giga Watt (GW) atau rata-rata 5,6 GW/tahun dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.

(Baca: Lanjutkan Proyek 35.000 MW, PLN Teken Kontrak Pembangunan Tiga PLTU)

Target penambahan kapasitas pembangkit dari perusahaan listrik swasta dalam 10 tahun ke depan mencapai 33,67 GW atau sekitar 60% dari target nasional. Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam penyediaan listrik untuk masyarakat membuka peluang bisnis bagi konsorsium perusahaan listrik swasta.

Namun, dalam pelaksanaan pengembangan listrik swasta terdapat beberapa kendala seperti financial close, jaminan pemerintah, pembebasan lahan dan lainnya. Adapun, rencana penambahan pembangkit listrik dari swasta menurut jenis selama periode 2019-2028 dalam grafik Databoks berikut ini :

Reporter: Verda Nano Setiawan