Pemerintah mendorong Pertamina untuk mulai mengebor sumur di Blok Rokan tahun depan. Namun, Pertamina pesimistis bisa melakukan kegiatan investasi di blok minyak dan gas (migas) tersebut pada 2020.
Secara hukum, Pertamina baru dapat masuk di Blok Rokan setelah kontrak Chevron berakhir pada Agustus 2021. Karena itu, perlu ada diskusi terkait skema bisnis untuk transisi dari Chevron ke Pertamina jika ingin masuk tahun depan.
Namun, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, diskusi terkait penerapan skema bisnis itu belum menemui titik temu. "Secara hukum belum bisa masuk (2020). Ini yang sedang dibahas," kata dia di Ruang Komisi VII DPR RI, kemarin (28/11).
Hal ini pun tengah dibahas Pertamina bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). (Baca: SKK Migas Desak Pertamina dan Chevron Sepakati Transisi Blok Rokan)
Padahal, transisi dari Chevron ke Pertamina yang dipercepat ini untuk menahan laju penurunan produksi secara alamiah atau decline di Blok Rokan. Apalagi, Chevron disebut-sebut enggan berinvestasi di Blok Rokan jelang berakhirnya masa kontrak.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui, Chevron enggan melakukan investasi menjelang berakhirnya kontrak pada 2021. Karena itu, Pertamina diminta untuk segera masuk ke blok migas tersebut.
Karena itu, Arifin mengimbau perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu untuk melanjutkan kegiatan perawatan sumur di Blok Rokan. “Atau alternatifnya Pertamina lebih cepat masuk," kata dia.
Pemerintah tidak ingin produksi di Blok Rokan turun, lantaran tak ada perusahaan yang berinvestasi. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Blok Mahakam.
(Baca: Lifting Migas Pertamina Belum Capai Target, Blok Mahakam yang Terendah)
Realisasi produksi minyak siap jual (lifting) gas Blok Mahakam pada Semester I 2019 hanya 662 juta standar kubik per hari (MMscfd) atau 60,18% dari target tahun ini. Capaian tersebut jauh menurun dari realisasi lifting gas Blok ini ketika masih dikelola oleh Total EP Indonesia pada 2017 lalu yang mencapai 1.286 MMscfd.
Pada Semester I 2019, lifting Blok Rokan juga hanya 194 ribu BOPD. Angka ini lebih rendah dibandingkan empat bulan pertama tahun ini yang mencapai 195 ribu barel per hari (BOPD).
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan, jika Pertamina masuk ke Blok Rokan sebelum 2021, maka pembagian besaran hasil produksi migas menjadi tak pasti. “Kalau Pertamina yang ‘modal’ akan bingung pembagiannya,” kata dia.
(Baca: DPR Mendesak Pertamina Segera Masuk ke Blok Rokan)
Sebab, Pertamina belum Production Sharing Contract (PSC). “Nanti dihitung sebagai partner, keuntungannya lebih besar dari Chevron," kata Fatar.
Ia pun mengungkapkan opsi yang dapat dipakai kedua belah pihak. Salah satunya dengan pelepasan aset di Blok Rokan. Opsi tersebut dapat menjadi solusi ketika diskusi yang dilakukan belum menemui titik temu.
Namun, opsi ini dapat memberatkan keuangan bagi Pertamina. Maka dari itu, menurutnya Pertamina butuh mitra untuk mengelola blok migas. "Kalau sepenuhnya dilakukan sendiri, keuangan negara tergerus, pendapatannya (Pertamina) juga berkurang,” katanya.
(Baca: Arcandra Minta Pertamina Tetap Adopsi Teknologi EOR di Blok Rokan)