Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 mengenai minyak dan gas bumi (migas) hingga kini belum menemui kejelasan. Para anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat pun pesimistis Rancangan Undang-Undang (RUU) itu dapat selesai pada periode mereka saat ini.
Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu mengatakan, draft RUU Migas telah lama diserahkan ke pemerintah. Namun, hingga kini komisinya belum menerima masukan dari pemerintah dalam bentuk DIM (Daftar Isian Masalah). "Terkesan pemerintah nyaman dengan UU yang ada sekarang, yang sesungguhnya melanggar konstitusi. Jadi mandeg-nya di mereka," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat, (7/6).
Ia pesimistis RUU Migas dapat rampung pada periode parlemen saat ini. Jika hal itu terjadi, menurut dia, pembahasan selama satu periode ini akan sia-sia. "Karena (pembahasan RUU) tidak dapat di-carry over ke periode berikutnya," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi mengatakan, pembahasan penyusunan UU Migas yang baru sudah berjalan sejak empat tahun lalu. “Melalui puluhan kali rapat baik di Senayan, Wisma DPR di Puncak, dan lain-lain. Ke berbagai Perguruan Tinggi dan menerima masukan dari berbagai stakeholders,” kata Kurtubi.
Dalam pembahasan itu dicapai beberapa kesepakatan. Salah satunya, tentang pengelola kekayaan migas nasional dan pemenuhan kebutuhan BBM dilakukan oleh Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. Badan Khusus ini, berupa Pertamina Baru, yang berasal dari induknya, PT Pertamina (Persero). Namun, pembentukannya dengan undang-undang, bukan melalui akte notaris.
(Baca: Mempertanyakan Nasib SKK Migas dalam RUU Migas)
SKK Migas akan menjadi bagian dari Pertamina sebagai Badan Usaha Khusus Migas. Sementara, BPH Migas digabung dengan Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kurtubi mengatakan, BUK Migas ini nantinya di bawah pengawasan presiden, bukan Kementerian BUMN. "Statusnya berbeda dengan BUMN yang lain, karena mengelola kekayaan alam yang sangat penting yang tak dapat diperbarui, membutuhkan modal besar dan berisiko tinggi, serta menguasai hajat hidup orang banyak," ujarnya.
Namun menurut Kurtubi, setelah konsep RUU Migas itu dibawa ke Badan legislasi (Baleg) DPR, ternyata terjadi perubahan. BPH Migas tetap dipertahankan seperti sekarang dan diberi wewenang baru, yaitu memberi izin impor migas. Lalu, BUK Migas tetap di bawah Kementerian BUMN.
(Baca: Tiga Poin Penting Isi Draf RUU Migas Versi Pemerintah)
Karena itu, Kurtubi ragu DPR periode 2014-2019 akan menghasilkan UU Migas yang baru. Ia mendorong agar pemerintah yang baru nantinya mengelurkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut UU Migas Nomor 22 Tahun 2001.
Anggota Komisi VII DPR lainnya Maman Abdurrahman juga mengatakan hal yang senada, ia pun pesimis RUU Migas dapat dirampungkan pada periode saat ini. "Keyakinan saya, RUU ini baru bisa terealisasi pada periode (parlemen) yang baru," ujar Maman.