Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) kualitas 6322 kcal pada Mei 2019 sebesar US$ 81,86 per ton, turun 7,8% dari bulan lalu yang sebesar US$ 88,85. HBA Mei 2019 ini merupakan yang terendah sejak Agustus 2017.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan penurunan tersebut seiring turunnya rata-rata indeks harga batu bara, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5.900 pada April.
"Turunnya karena empat indeks yang jadi penentu HBA," kata dia kepada katadata.co.id, Selasa (7/5). Penurunan indeks harga ini seiring melemahnya permintaan batu bara. Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono mengatakan permintaan batu bara dari pasar internasional mengalami penurunan.
(Baca: DPR Minta Kekayaan Sumber Daya Energi dan Mineral Dikelola BUMN)
Berdasarkan catatan katadata.co.id, HBA Mei 2019 ini merupakan yang terendah sejak Agustus 2017. Adapun HBA sempat naik hingga menembus US$ 100 per ton pada 2018, namun kemudian berangsur turun. Pada Januari 2019, HBA tercatat berada di level US$ 92,41, kemudian turun menjadi US$ 91,80 pada Februari, dan turun lagi menjadi US$ 90,57 pada Maret.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, penurunan HBA yang terus menerus membuat pendapatan perusahaan batu bara mengecil. "Dampaknya jadi negatif bagi bisnis batu bara," ujarnya, awal April lalu.
(Baca: Harga Batu Bara Turun, Bos Indika Energy Perlu Putar Otak Tekan Biaya)
Sebelumnya, Managing Director dan Chief Executive Officer Indika Energy Azis Armand mengatakan, merespons volatilitas harga batu bara, perusahaannya fokus mendiversifikasi bisnis. Perusahaan tengah menggarap bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), penyewaan tangki minyak (fuel storage), hingga tambang emas.
Dalam lima tahun ke depan, perusahaan menargetkan kontribusi pendapatan dari bisnis non-batu bara bisa mencapai 25%. Sejauh ini, sekitar 80% pendapatan masih berasal dari batu bara. Ini artinya, pendapatan dari non-batu bara sebesar 20%.
Sedangkan untuk jangka pendek, langkah yang bisa diambil dalam menghadapi volatilitas harga batu bara adalah efisiensi biaya. “Harus mulai putar otak untuk penurunan biaya,” ujarnya.