Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tjatur Sapto Edy menekankan perlunya perubahan radikal dalam pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) hingga pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini untuk memacu roda perekonomian domestik dan memperbaiki neraca perdagangan migas yang defisit.

Tjatur mengatakan perubahan radikal dalam pengelolaan migas misalnya dengan tidak mengambil pungutan dari industri di sektor tersebut. "Tidak perlu ambil pungutan tapi harganya dipakai untuk dorong industri hilir kita seperti keramik dan lain lain, sehingga bisa bersaing dengan negara-negara tetangga," kata dia dalam diskusi di Jakarta, Kamis (21/3).

Ia juga menilai perlunya gerakan besar-besaran guna mencari alternatif energi. Ia mengusulkan pengembangan EBT sehingga tidak perlu lagi bahan bakar minyak (BBM) untuk diesel-diesel skala kecil di daerah. “Ganti saja dengan EBT, misal dengan biomass yang lebih murah," ujarnya.

(Baca: Kurang Dana, 24 Proyek Pembangkit Energi Terbarukan Terancam Batal)

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengatakan, produksi migas Indonesia semakin mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Alhasil, neraca perdagangan migas terus defisit. “Dan semakin besar,” kata dia.

Investasi di sektor migas pun menurun imbas ketidakpastian aturan dari pemerintah Indonesia. Ia pun mengutip hasil survei PricewaterhouseCoopers (PwC) pada 2016. “Dia melihat banyak (investor) tidak optimis, masalahnya kontrak bisa berubah ubah, terutama ini Inpex di Masela, sudah kontrak dibatalin," ujarnya.