Hadapi Revolusi Teknologi, Bisnis Tambang Perlu Inovasi untuk Bertahan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Aktivitas di tambang batu bara legal di Baru Tengah, Kalimantan Timur (19/1/2019).
14/3/2019, 18.19 WIB

Pengurus Harian Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Joko Pramubinawan menekankan pentingnya bagi industri ekstraktif – industri yang bahan bakunya diambil langsung dari alam -- untuk berinovasi guna menghadapi revolusi industri 4.0. Dengan begitu, industri ini bisa tetap hidup dan maju.

Sejauh ini, Joko meyakini industri ekstraktif masih akan tumbuh baik. Sebab, bahan bakar fosil masih akan digunakan untuk kendaraan maupun pembangkit. Industri ini juga diyakini tidak tergerus oleh perkembangan teknologi. Ketenagakerjaan di sektor ini juga masih aman.

Namun, tak bisa dipastikan bahwa ke depannya pelaku usaha bisa menghindari perubahan zaman. Ia pun mencontohkan, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang sudah meninggalkan industri ekstraktif. Mereka mengembangkan industri destruktif seperti Google dan Facebook.

(Baca: Enam Perusahaan Tambang Tawarkan Divestasi Sahamnya ke BUMN)

"Itu merupakan backbone mereka dalam pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi ini Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk merasakan itu," kata dia.

Menurut dia, ada beberapa bentuk inovasi yang bisa dilakukan pelaku industri ekstraktif agar tetap hidup. Misalnya, pengembangan industri petrokomia untuk hilirisasi industri. Selain itu, melakukan perubahan yang bisa membuat perusahaan berkembang, tidak merugikan negara, dan lingkungan.

(Baca: Puluhan Perusahaan Minerba Masih Enggan Beri Transparansi Data )

Untuk itu, ia menjelaskan, Perhapi gencar memotivasi pelaku usaha dan para pemangku kepentingan. Pihaknya pun berencana membuat ajang penghargaan bagi pelaku usaha pertambagan yang mampu membuat inovasi teknologi yang ramah lingkungan. Ajang penghargaan ini rencananya akan dilaksanakan pada akhir 2019.

Reporter: Fariha Sulmaihati