Institute for Energy Economic and Financial Analysis (IEEFA) menilai regulasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang berlaku sekarang membuat investor khawatir dengan nilai keekonomian pembangunan pembangkit itu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 terdapat skema build own operate transfer/BOT. Kepemilikan proyek pada akhirnya akan beralih ke PT PLN (Persero) setelah masa kontrak selesai, terlepas dari nilai aset dan manfaat residual yang masih berjalan. Hal tersebut, menurut IEEFA, dapat mengurangi keekonomian proyek pembangkit.
Adanya kewajiban memakai kandungan lokal juga dinilai merepotkan para produsen. Komponen panel surya dalam negeri masih mahal. Kualitasnya pun lebih rendah dibandingkan produk impor.
Keadaan ini semakin dipersulit lagi dengan kebijakan harga jual listriknya. Pengembang PLTS menerima harga berdasarkan listrik berbasis batu bara yang mendapat subsidi negara.
Karena itu, hasil kajian organisasi yang bermarkas di Amerika Serikat ini melihat dana bukan menjadi faktor penghambat pengembangan PLTS. "Walaupun potensi tenaga surya melimpah di Indonesia, tapi pemerintah menyusun kebijakan yang menjadi rintangan," kata peneliti IEEFA Elrika Hamdi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/2).
Indonesia memiliki tingkat radiasi matahari harian rata-rata 4,8 kilo watt hour per meter persegi. Potensinya mencapai 500 gigawatt (GW) tenaga surya. Tapi pemanfaatan dari kapasitas terpasang PLTS Atap baru mencapai 24 megawatt (MW).
Angkanya sangat kecil dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara. Thailand telah memanfaatkan tenaga surya sebesar 2,6 GW. Lalu, jumlah PLTS Atap di Filipina mencapai 868 MW.
IEEFA merekomendasikan beberapa proyek listrik tenaga surya kecil perlu dikumpulkan menjadi satu proyek investasi skala besar. Dengan cara tersebut, proyek PLTS Atap akan lebih memikat lembaga keuangan untuk masuk ke dalamnya. "Sebenarnya cukup banyak bank lokal dan asing yang tertarik mendanai proyek PLTS skala besar," ujarnya.
Pemerintah juga perlu melakukan investasi besar-besaran untuk mendidik dan melatih para insinyur dan teknisi tenaga surya. Hal ini menjadi krusial di masa transisi Indonesia yang akan beralih dari ketertantungan bahan bakar fosil ke energi bersih.