PT Freeport Indonesia (PTFI) harus menjadi obyek audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini karena Freeport sudah menjadi bagian dari holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tambang setelah Inalum dan perwakilan Indonesia memegang 51,23% sahamnya Desember 2018 lalu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana mengatakan dengan masuk menjadi bagian Inalum, BPK bisa mengaudit keuangan Freeport. "Sekarang ini PTFI sudah jadi anak perusahaan PT Inalum," kata dia, di Jakarta, Selasa (29/1).
Ke depan, Freeport juga harus membayar kewajiban pajak air sesuai dengan aturan yang berlaku. Pertimbangannya, Kontrak Karya Freeport telah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Seperti diketahui, pajak air permukaan naik dari US$ 0,2 juta rata-rata setiap tahunnya menjadi US$ 15 juta
Dengan berubah menjadi IUPK, penerimaan negara dari Freeport juga meningkat. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dalam Kontrak Karya (KK) tidak ada, kini dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport harus menyetor PNBP sebesar 10%. Terdiri dari 6% ke Pemerintah Daerah Papua dan 4% ke pemerintah pusat.
Royalti emas pun meningkat menjadi 3,75% dari harga jual, sebelumnya 1%. Royalti perak juga naik menjadi 3,25% dari saat memegang KK yang hanya 1%. Royalti tembaga menjadi 4%, sedangkan saat memegang KK sebesar 1,5-3,3% dari harga jual.
(Baca: Inalum Sebut Penerimaan Negara dari Freeport akan Meningkat)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga meningkat dari US$ 15 juta per tahun jadi US$ 65 juta.Sementara itu, untuk Pajak Penghasilan (PPh) Badan kini hanya 25%. Saat memegang kontrak karya, PPh badan ada tiga kategori. Pertama, 15% untuk pendapatan kena pajak hingga Rp 10 juta. Kedua, 25% untuk pendapatan Rp 10-50 juta. Ketiga, 35% untuk pendapatan kena pajak di atas 50 juta.