Jokowi: RUU Migas Harus Jadi Momentum Reformasi Tata Kelola Energi

Pertamina Hulu Energi
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
23/1/2019, 13.36 WIB

Presiden Joko Widodo meminta agar pembentukan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) dapat menjadi momentum mereformasi tata kelola migas di Indonesia. Ini bertujuan agar tata kelola migas dapat lebih efisien, transparan, sederhana, dan berkelanjutan.

"Sehingga memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional kita," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/1).

Jokowi mengatakan, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya pembangunan yang strategis bagi Indonesia. Hanya saja, energi tersebut tidak terbarukan.

Sehingga, RUU Migas diharapkan mampu memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional. Jokowi meminta RUU Migas tidak hanya mendorong peningkatan produksi migas, tapi juga mendukung penguatan kapasitas nasional dan industri dalam negeri. " Termasuk pula investasi SDM kita di industri migas," kata Jokowi.

(Baca: RUU Migas Dinilai Bisa Memperkuat Posisi BPH Migas)

Lebih lanjut, Jokowi meminta pengkajian RUU Migas dapat dilakukan secara cermat dan teliti. Dengan begitu, aturan baru ini nantinya tak bertentangan dengan konstitusi.

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelumnya telah menyetujui draf RUU Migas untuk dibahas dengan Pemerintah pada Desember 2018. Tercatat ada 10 fraksi yang sepakat membahas draf RUU Migas tersebut yaitu Golkar, Demokrat, PAN, PDI Perjuangan, Gerindra, PKB, PKS, PPP, Nasdem, dan Hanura.

Terdapat sejumlah poin yang tercantum dalam RUU Migas tersebut. Pertama, Pemerintah Pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan migas memberikan kuasa usaha pertambangan kepada Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi dapat dilaksanakan oleh BUK Migas, BUMN, BUMD, perusahaan swasta nasional, badan usaha swasta asing, dan koperasi.

Kedua, Pemerintah pusat menyiapkan wilayah kerja yang akan diusahakan BUK Migas. Batas dan syarat ditetapkan Presiden atas usul Menteri. Menteri sebelum menyampaikan usulan kepada Presiden melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Ketiga, kegiatan usaha hilir minyak bumi dilaksanakan BUMN di bidang hilir Minyak Bumi, BUMD, badan usaha swasta nasional dan asing, dan/atau koperasi. Jaringan distribusi minyak bumi dikuasai negara dan dikelola Pemerintah Pusat melalui BUMN di bidang hilir minyak bumi untuk pelaksanaannya.

(Baca: Beda dengan DPR, Pemerintah Pisah Badan Hulu dan Hilir di RUU Migas)

Keempat, kegiatan usaha hilir gas bumi mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, distribusi, dan niaga. Kegiatan ini dilaksanakan BUMN di bidang hilir gas bumi, BUMD, badan usaha swasta nasional, dan/atau koperasi. Jaringan distribusi gas bumi dikuasai negara dan dikelola Pemerintah Pusat melalui BUMN untuk penyelenggaraannya.

Kelima, BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional dan asing, dan koperasi dalam melakukan kegiatan usaha penunjang minyak dan gas bumi wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. Keenam, BUK Migas berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengendalikan kegiatan usaha hulu dan hilir migas.

Ketujuh, BPH Migas berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa. Kedelapan, negara menjamin pemenuhan kebutuhan migas dalam negeri berdasarkan Kebijakan Energi Nasional. Jaminan pemenuhan kebutuhan migas dalam negeri dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BUK Migas.

Kesembilan, BUK Migas dan kontraktor kontrak kerja sama yang sudah menghasilkan produksi minyak bumi dan/atau gas bumi wajib membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Kesepuluh, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, dan BUK Migas wajib mengelola dana migas secara bersama-sama dalam sebuah rekening bersama secara transparan dan akuntabel.

Sebelas, dalam hal BUK Migas dan kontraktor kontrak kerja sama akan menggunakan bidang tanah milik negara mereka wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atas tanah negara. Ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ke-12, Pemerintah Pusat melalui menteri melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan penguasaan dan pengusahaan migas, baik hulu, hilir, dan kegiatan usaha penunjang. Ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan undang-undang lain.

Ke-13, setiap orang dilarang tanpa hak memiliki, menggunakan, memanfaatkan membuka rahasia, dan/atau menginformasikan kepada pihak ketiga data survei umum.

Ke-14, SKK Migas tetap melaksanakan fungsi dan tugas sampai dengan terbentuknya BUK Migas. Semua bentuk Kontrak Kerja Sama yang ada sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa kontrak dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(Baca: Disetujui Paripurna, DPR dan Pemerintah Segera Bahas RUU Migas)

Anggota Komisi VII dari fraksi Nasdem, Kurtubi mengatakan masih ada hal yang diperbaiki dalam RUU Migas yang telah disepakati tersebut, salah satunya mengenai badan usaha migas. Menurutnya, yang seharusnya menjadi  Badan Usaha Khusus (BUK) Migas adalah PT Pertamina (Persero) yang mana dalam hal ini tidak berada di bawah Kementerian BUMN, tetapi langsung di bawah Presiden.

Sebab, pengelolaan migas  menurutnya berbeda dengan pengelolaan perusahaan BUMN. Dalam UU BUMN disebutkan  perusahaan BUMN tidak boleh mendapatkan kerugian, sedangkan Pertamina menyalurkan BBM subsidi, yang dinilai menjadi penyebab Pertamina sulit memperoleh keuntungan yang  besar. “Kami tidak setuju pengelola industri migas ke depan yaitu badan usaha khusus migas yakni Pertamina di bawah Menteri BUMN,” ujar dia.

Selain itu, agar lebih efisien,  kegiatan impor migas juga menurutnya tidak perlu dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Jadi, untuk masalah perizinan menurutnya cukup dari instansi pemerintah yang ada selama ini sesuai ketentuan yang berlaku. 

Reporter: Dimas Jarot Bayu