Peminat skema kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) terus bertambah. Setelah Eni mengubah kontrak dari skema cost recovery, kini ada enam perusahaan yang berminat menggunakan skema gross split.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan enam blok migas yang akan berubah kontrak menjadi skema gross split adalah Duyung, Tanjung Enim, Bungamas, North Arafura, Sebatik dan Muralim. “Hingga Februari aka nada enam blok yang berubah,” kata dia di Jakarta, Jumat (11/1).

Menurut Arcandra, ada tiga faktor yang membuat kontraktor itu mau mengubah kontrak dari cost recovery menjadi gross split. Meski tidak ada lagi penggantian biaya operasional, skema gross split dinilai lebih efisien. Skema ini juga lebih sederhana dalam kegiatan operasional dan memberikan kepastian.

Kontraktor di enam blok itu mau mengubah kontrak juga karena melihat perubahan kontrak Eni di Blok East Sepinggan. Perubahan itu sangat cepat dan hanya membutuhkan proses satu bulan.

Untuk Tanjung Enim, Arcandra juga menjanjikan perubahan kontrak secara cepat sekaligus persetujuan proposal pengembangan lapangan (Plan of Development/PoD). “Sekalian berubah PoD dan kontrak kami setujui satu bulan. Seperti Eni, saya minta paling lambat 9 Februari 2019,” ujar dia.

Sebagai informasi, Blok Duyung dioperatori Conrad, Muralim dan Tanjung Enim dioperatori Dart Energy. Sedangkan North Arafura dioperatori Madura Oil. Lalu, Bungamas dioperatori Bunga Mas International dan Sebatik dikelola Star Energy. 

Hingga saat ini, ada 36 blok migas yang menggunakan skema gross split. Dari jumlah itu 14 blok merupakan hasil lelang. “ Artinya investor merespon bahwa kontrak migas gross split lebih baik,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi kepada Katadata.co.id, Rabu (9/1).

(Baca: Fraser: Indonesia Termasuk 10 Negara Terendah Iklim Investasi Energi)

Sebelumnya, survei Fraser Insitute terhadap 256 pelaku industri migas menyebutkan gross split menjadi salah satu faktor yang membuat investasi tidak menarik. Dari survei tersebut, Indonesia menempati posisi 71 dari 80 negara mengenai iklim investasi sektor energi. Di bawah Indonesia ada Bolivia, New South Wales, Ekuador, Irak, Libya, Victoria, Tasmania, Yaman dan Venezuela.