Tahun baru selalu menjadi harapan baru bagi semua orang tak terkecuali para pelaku industri batu bara. Para pelaku industri batu bara pun mulai menyusun strategi dalam menjalani bisnisnya, termasuk memetakan kendala dan tantangannya.

Pengusaha batu bara memprediksi tahun 2019, yang menurut penanggalan kalender lunar Tiongkok merupakan tahun babi tanah, akan memiliki beberapa tantangan. “Akan banyak tantangan tahun depan,” kata Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI)  Pandu Patria Sjahrir kepada Katadata.co.id, Senin (31/12).

Salah satunya adalah kebijakan memasok batu bara ke dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). DMO ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Mineral dan Batu bara. Isi aturan itu menyebutkan pemerintah dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan batu bara dalam negeri.

Pemerintah menetapkan 25% dari produksi pengusaha batu bara wajib dipasok untuk dalam negeri. Batu bara tersebut nantinya akan diserap industri dalam negeri dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero).

Akan tetapi, tidak semua batu bara yang diproduksi perusahaan di dalam negeri cocok untuk pembangkit PLN. Pembangkit listrik dari perusahaan pelat merah itu,hanya bisa mengolah batu bara berkalori 4.200.

Dari sanalah muncul masalah. Apalagi, surat edaran Menteri ESDM Ignasius Jonan bernomor 2841/30/MEM.B/18 tertanggal 8 Juni 2018 menyebutkan sanksi pemotongan kuota produksi jika badan usaha tidak memenuhi kewajiban 25%.

Pemerintah dan pengusaha pun sempat mencari cara mengatasi itu. Salah satunya adalah transfer kuota. Jadi, perusahaan yang spesifikasi batu baranya tidak cocok membeli batu bara dari perusahaan lain. Namun, itu pun dianggap tak menyelesaikan masalah karena harga dianggap mahal, akibatnya, banyak perusahaan yang belum memenuhi itu.

Pengusaha mengusulkan agar tidak perlu ada transfer kuota. Jadi, perusahaan yang produksi tidak cocok langsung membayar sejumlah uang ke pemerintah sehingga menambah Penerimaan Negara Bukan Pajak. “Harusnya tidak usah transfer kuota, langsung bayar ke pemerintah,” ujar Pandu.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengakui ada beberapa perusahaan yang sampai saat ini belum memenuhi kewajiban DMO. Sanksinya, pengurangan kuota produksi pada tahun 2019.

Namun, pihaknya belum memastikan jumlah pengurangan kuota produksinya, karena masih dalam proses evaluasi Rancangan Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). “Kurang lebih ada 10 perusahaan,” ujar Bambang.

Tantangan kedua untuk tahun 2019 adalah kepastian hukum terutama bagi pemegang Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) generasi I yang kontraknya akan segera berakhir. Hingga kini pemerintah belum mengeluarkan aturan mengenai perubahan PKP2B ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Padahal, perusahaan membutukan kepastian hukum untuk memproyeksikan produksi batu bara.

Adapun, dalam periode tahun 2019 hingga 2026, ada delapan PKP2B Generasi I yang berakhir kontraknya. Mereka adalah PT Tanito Harum yang kontraknya akan habis pada 14 Januari 2019. Lalu, ada PT Arutmin Indonesia yang kontraknya berakhir 1 November 2020.

Kemudian ada PT Kendilo Coal Indonesia yang kontraknya habis 13 September 2021. Ada juga PT Kaltim Prima Coal yang PKP2B-nya berlaku hanya sampai 31 Desember 2021.

Jadi jika aturan itu tak segera terbit bisa berpengaruh terhadap produksi dan investasi. "Investasi  tambang kalau belum ada kejelasan mengenai DMO dan PKP2B, saya rasa akan turun dari potensi yang ada, bisa 5% penurunannya,” ujar Pandu.

Tantangan ketiga adalah pembatasan impor batu bara di Tiongkok. Kebijakan ini salah satu penyebab Harga Batu bara Acuan (HBA) terus mengalami penurunan. Padahal, Tiongkok merupakan pasar utama ekspor batu bara.

Selama ini, Indonesia mengirim sekitar 30 % dari total produksi batu bara ke Tiongkok. "Tahun depan bisnis batubara ditentukan oleh harga komoditas yang sangat tergantung dengan kebijakan pemerintah Tiongkok," kata Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia.

(Baca: Harga Batu Bara Turun, Pengusaha Akan Rem Produksi Tahun Depan)

Jika dihitung sejak awal tahun, HBA Januari sebesar US$ 95,45 per ton. Lalu, naik pada Februari mencapai US$ 100,69. Sebulan kemudian turun US$ 94,75 per ton. Kemudian, periode April US$ 101,86 per ton. Setelah itu turun ke level terendah pada Mei.