Bupati atau wali kota kini memiliki batas waktu untuk menenetapkan wilayah izin pertambangan. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 51 tahun 2018, yang merupakan revisi dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2018  tentang cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.

Pasal 8 ayat 4 aturan yang berlaku sejak 6 Desember 2018 menyebutkan gubernur dalam memberikan rekomendasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) atau Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK), harus melalui rekomendasi dari bupati atau wali kota. Sebelumnya, rekomendasi hanya dari gubernur yang berkoordinasi dengan bupati atau walikota

Akan tetapi, pemberian rekomendasi dari bupati atau wali kota itu pun memiliki target waktu. Jika, dalam jangka waktu lima hari bupati atau walikota tidak memberikan jawaban maka dianggap menyetujui penetapan WIUP atau WIUPK.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, perubahan rekomendasi ini untuk mempermudah penetapan wilayah tambang, karena sebelumnya, koordinasi antara gubernur dan bupati menyebabkan lambannya rekomendasi WIUP. "Praktik sebelumnya, mungkin koordinasi masih terkendala dengan pemerintah daerah," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (26/12).

Hal lain yang diatur dalam regulasi baru tersebut adalah mengenai kemitraan. Pasal 27 ayat 1b menyebutkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat mengikutsertakan Badan Usaha Swasta yang seluruh modalnya berasal dari dalam negeri sebagai mitra dalam proses penawaran secara proritas untuk mendapatkan WIUPK mineral logam atau WIUPK batu bara. Sedangkan, pada aturan sebelumnya BUMN dan BUMD tidak bisa mengukutsertakan Badan Usaha Swasta.

Sedangkan, pasal 28 ayat 4b menyatakan penyertaan saham BUMN dalam badan usaha baru sebagai perusahaan patungan (joint venture)  paling sedikit 51%. Adapun untuk BUMD tetap 10%. 

Saham BUMN/BUMD tidak boleh dialihkan oleh pemegang IUP/IUPK menjadi lebih sedikit dari 51%. Ini tercantum dalam pasal 65.

(Baca: KPK Duga Ada Tambang dan Kebun Ilegal Dilindungi Petinggi Bersenjata)

Aturan baru itu menghapus pasal 102. Bunyi pasal itu adalah ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya serta dokumen kesepakatan lainnya antara pemerintah dan pemegang KK menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemberian IUPK OP.

Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara serta menjamin iklim usaha yang kondusif, Menteri dapat menetapkan ketentuan lain bagi pemegang IUPK OP sebagai kelanjutan operasi dari KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan, skala invetasi, karakteristik operasi, jumlah produksi, daya dukung lingkungan. Ini tertuang dalam pasal 110.